Bagi para pegiat wacana teologi, ekoteologi dapat dijadikan spirit baru karena menyadarkan manusia akan peran kewalian atas bumi (khalifah fil 'ardhi), atau 'wali planet' (Attfield, 2010).
Bagi para pegiat lingkungan, ekoteologi dapat menjadi ruh baru bagi pelestarian lingkungan agar tidak bersifat sekuler ataupun terjebak pada posisi binner (dua arah berlawanan), antara antroposentris dan biofasis (Mahmud, 2015).
Dari konsep ekoteologi tersebut, penulis bersintensa adanya spirit baru dari pelestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya, yakni motif devosi/penghambaan/ibadah, selain motif sosial, ekonomi dan ekologi (Mahmud, 2015).
Sebagai sebuah pendekatan, selain mendasarkan tindakan pada empat motif tersebut (devosi, sosial, ekonomi dan ekologi), konsep ekoteologi berdasar tiga aspek/dimensi, yakni spiritualitas, ekologi dan sosial.
Dimensi spiritualitas menekankan aspek spiritual, landasan keyakinan dan tujuan hidup (visi) dari para perimba (manusia/subjek pelaku). Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, sang Khaliq, dan Realitas Agung lainnya berdasarkan keyakinan perimba tersebut.
Rasa penghormatan terhadap makam leluhur (kubur kepala suku) adalah bentuk spiritualitas kelompok Tobelo Dalam Akejira, termasuk pelestarian mitologi Hantu Akejira, seperti diulas Fatir Natsir (Malut Post, 29-9-2019) di alam bawah sadar mereka.
Dimensi ekologi menyangkut hubungan perimba (manusia) dengan ekosistem sekitarnya, terkait lingkungan fisik (tanah, air, bebatuan, dan sebagainya) dan keanekaragaman hayati (biodiversitas).
Ekologi di sini bukan sekadar pohon atau tumbuhan an sich, seperti halnya UU Kehutanan No. 41/1999 yang mengartikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan sebagai sebuah ekosistem.
Ekologi Akejira, menurut penulis, merujuk pada terminologi Murata (2004) digolongkan sebagai mikrokosmos, komponen manusia, satwa, tumbuhan dan semua sumber daya di muka bumi (tanah, batu, air dan sebagainya).
Berarti, Ekologi Akejira adalah buah relasi organis antara warga Akejira dengan lingkungan fisik dan hayatinya, termasuk tradisi agraris dan kearifan lokal dalam mengelola hutan dan lahan dengan batas-batas alam yang mereka sepakati atau yakini.
Dimensi sosial menekankan hubungan perimba dengan sesama dan perimba dengan komunitas/wadah individu (negara, korporat/perusahaan, lembaga/institusi) meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.