Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ekoteologi Akejira

22 Maret 2020   01:51 Diperbarui: 17 April 2020   16:07 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini adalah 'hutang literasi' penulis kepada kawan-kawan pegiat lingkungan di Maluku Utara yang tengah berjuang, baik di medan ilmiah (diskusi publik, FGD), aksi jalanan hingga yang berkesempatan mendampingi langsung di lapangan, seperti AMAN.

Pun penulis pernah menyampaikan dzarrah ide terkait 'Tambang dan Akejira' pada Diskusi Publik Hima Sylva, Fakultas Pertanian, Unkhair pada 22 September 2019 di Gambesi.

Ada apa dengan Akejira?

Kisah Akejira bermula ketika sebagian warga Tobelo Dalam, Kelompok Akejira, Halmahera Tengah mengadu ke Rumah Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Maluku Utara pada 4 September 2019 (jalamalut.com). Mereka mengeluhkan ekspansi pembukaan lahan perusahan tambang nikel yang terus menyerobot lahan ruang hidup masyarakat adat Akejira guna pembuatan camp, jalan tambang dan sarana pendukung lainnya.

Ibarat bola salju, kisah pilu masyarakat Akejira tersebut, yang disampaikan langsung oleh para korban (subjek terdampak) terus menggelinding hingga menjadi salah satu drama tragedi ekologi di bumi Moloku Kie Raha.

Berdasar data AMAN Malut, wilayah Tobelo Dalam, Kelompok Akejira memiliki 15 wilayah adat, yakni Ma, Kokarebok, Folajawa, Komao, Ngoti-Ngotiri, Sakaulen, Namo, Talen, Ngongodoro, Susu Buru, Kokudoti, Sigi-Sigi, Mein, Tofu Blewen dan Lapan. Mereka merupakan wilayah adat Tobelo Dalam yang telah hidup ratusan tahun lamanya serta turun-temurun.

Selain dari perusahaan tambang, Kelompok Tobelo Dalam juga ditekan oleh ekspansi masyarakat pesisir melalui bangunan pemukiman, pengelolaan kebun dan penguasaan lahan yang pada akhirnya disewakan kepada perusahaan tambang.

Menurut Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut, kebijakan perusahan dan intervensi warga pesisir berbentuk penguasaan lahan menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup kelompok Tobelo Dalam Akejira.

Di samping berkurangnya anggota komunitas, yakni tersisa dua kepala keluarga sebanyak 8 orang, 3 orang laki-laki berusia remaja dan 5 orang perempuan, mereka ini juga seringkali mengalami krisis pangan. Sebuah ironi Negeri Surgawi yang gemah ripah loh jinawi tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya, Moloku Kie Raha.

Mengapa Ekoteologi?

Menurut Mudhofir Abdullah, ekoteologi (ecotheology) merupakan bentuk teologi konstruktif membahas interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan.

Bagi para pegiat wacana teologi, ekoteologi dapat dijadikan spirit baru karena menyadarkan manusia akan peran kewalian atas bumi (khalifah fil 'ardhi), atau 'wali planet' (Attfield, 2010).

Bagi para pegiat lingkungan, ekoteologi dapat menjadi ruh baru bagi pelestarian lingkungan agar tidak bersifat sekuler ataupun terjebak pada posisi binner (dua arah berlawanan), antara antroposentris dan biofasis (Mahmud, 2015).

Dari konsep ekoteologi tersebut, penulis bersintensa adanya spirit baru dari pelestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya, yakni motif devosi/penghambaan/ibadah, selain motif sosial, ekonomi dan ekologi (Mahmud, 2015).

Sebagai sebuah pendekatan, selain mendasarkan tindakan pada empat motif tersebut (devosi, sosial, ekonomi dan ekologi), konsep ekoteologi berdasar tiga aspek/dimensi, yakni spiritualitas, ekologi dan sosial.

Dimensi spiritualitas menekankan aspek spiritual, landasan keyakinan dan tujuan hidup (visi) dari para perimba (manusia/subjek pelaku). Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, sang Khaliq, dan Realitas Agung lainnya berdasarkan keyakinan perimba tersebut.

Rasa penghormatan terhadap makam leluhur (kubur kepala suku) adalah bentuk spiritualitas kelompok Tobelo Dalam Akejira, termasuk pelestarian mitologi Hantu Akejira, seperti diulas Fatir Natsir (Malut Post, 29-9-2019) di alam bawah sadar mereka.

Dimensi ekologi menyangkut hubungan perimba (manusia) dengan ekosistem sekitarnya, terkait lingkungan fisik (tanah, air, bebatuan, dan sebagainya) dan keanekaragaman hayati (biodiversitas).

Ekologi di sini bukan sekadar pohon atau tumbuhan an sich, seperti halnya UU Kehutanan No. 41/1999 yang mengartikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan sebagai sebuah ekosistem.

Ekologi Akejira, menurut penulis, merujuk pada terminologi Murata (2004) digolongkan sebagai mikrokosmos, komponen manusia, satwa, tumbuhan dan semua sumber daya di muka bumi (tanah, batu, air dan sebagainya).

Berarti, Ekologi Akejira adalah buah relasi organis antara warga Akejira dengan lingkungan fisik dan hayatinya, termasuk tradisi agraris dan kearifan lokal dalam mengelola hutan dan lahan dengan batas-batas alam yang mereka sepakati atau yakini.

Dimensi sosial menekankan hubungan perimba dengan sesama dan perimba dengan komunitas/wadah individu (negara, korporat/perusahaan, lembaga/institusi) meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain.

Sosiologi Akejira seharusnya mengakui sistem sosial Kelompok Tobelo Dalam yang 'telah hidup ratusan tahun lamanya serta turun-temurun', sebelum kehadiran entitas lain, yakni perusahaan, masyarakat pesisir dan pemerintah (Negara).

Masalahnya, sejak kehadiran entitas lain tersebut, Kelompok Tobelo Dalam justru termarjinal sehingga berubah menjadi "yang lain" (the others/liyan) bagi tanah mereka sendiri, bagi ruang hidup mereka, seperti diungkapkan Herman Oesman (Malut Post, 24-9-2019).

Dalam Sosiologi Klasik, hal ini digambarkan Marx sebagai satu 'alienasi'/keterasingan manusia atas sumber daya/alam dan sesamanya.

Ekoteologi Akejira: Menuju Harmoni

Wicara Akejira, pun dapat dilihat dari perspektif Ekoteologi (relasi Tuhan-alam-manusia). Terkait relasi kosmis tersebut ada tiga model pandangan, yakni reduksionistik, holistik, dan organik/ tawhid.

Relasi reduksionistik berpandangan bahwa alam semesta sekadar partikel-partikel benda yang bergerak otomatis laksana mesin. Maka relasi yang ada adalah relasi timpang, dimana posisi Tuhan, alam dan manusia menjadi tidak aktual dan fungsional.

Pandangan reduksionisme (Barat) menyumbang sekularisme kosmos dan sikap mental manusia sebagai pelaku eksploitasi alam. Akejira bagi sebagian pihak tersebut, khususnya perusahaan dan pemilik modal, dianggap sebagai alat-alat produksi, sumber daya yang bisa dieksploitasi tanpa perlawanan, karena 'alam' sekadar 'alat' dan pasif.

Pandangan ini juga digunakan sebagian masyarakat 'terpapar' kapitalisme (pemburu rente ekonomi), salah satunya masyarakat pesisir dan oknum aparat. Ironisnya, sebagian pekerja ataupun pengelola perusahaan, oknum aparat dan masyarakat ekspansif tersebut adalah orang-orang berpendidikan dan beragama.

Pandangan kedua adalah relasi holistik. 'Holisme'/holon berarti bahwa suatu keseluruhan (holism) merupakan bagian keseluruhan yang lain. Semisal, atom bagian molekul, molekul bagian sel, sel bagian organisme, organisme bagian keluarga, keluarga bagian masyarakat, masyarakat bagian dunia, dan seterusnya, seperti disiratkan pada ajaran watak nilai-nilai Timur (India, Cina, Jepang).

Sebagian masyarakat Tobelo Dalam, terlebih yang belum tersentuh agama langit/samawi, seperti Islam dan Nasrani, pun masih berpandangan holistik.

Pandangan holistik mencoba menjalin hubungan secara harmonis antara Tuhan dan alam semesta. Manusia dan kosmos sebagai suatu keseluruhan tunggal yang organik.

Tujuan kehidupan adalah menyesuaikan diri dengan langit dan bumi, dan kembali ke sumber transenden manusia dan dunia. Manusia bukan pemilik tunggal alam semesta, tetapi sebagai bagian keluarga biotik besar.

Namun, holisme tidak berdasar wahyu, lebih peduli bumi ketimbang kepada Tuhan. Hal ini berbeda dengan pandangan ketiga, relasi tawhid yang beranggapan bahwa relasi Tuhan, kosmos, dan manusia adalah bersifat organik. Dengan ilustrasi segitiga, posisi Tuhan sebagai puncak, sedang alam dan manusia sebagai realitas derivatif (turunan).

Menurut Yusuf Qaradhawi, ada tiga tujuan hidup manusia di bumi yakni mengabdi kepada Allah (QS. 51/Adz Dzariyat:56); sebagai khalifatullah di bumi (QS. 2/Al-Baqarah:30, QS. 35/Fathir:39), dan membangun peradaban etis di bumi (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur).

Merujuk konsep teologi Chittick dan Murata di atas, Tawhid merupakan integrasi konsep Tanzih dan Tasybih. Sebuah kesadaran hamba yang merasa tak sebanding (jauh) denganNya (secara dzat, sifat dan sebagainya), dan di sisi lain, ia merasa dekat denganNya karena ia adalah bagianNya (pancaran cahaya Tuhan).

Menurut penulis, fenomena Akejira menunjukkan adanya perbedaan persepsi parapihak, baik masyarakat Tobelo Dalam sendiri, masyarakat pesisir, perusahaan, pemerintah maupun institusi/komunitas lain yang bersentuhan langsung dengan Akejira.

Ekoteologi Akejira dapat dikembangkan melalui pendekatan holistik maupun organis, dan mengeliminasi pandangan reduksionisme dalam mengelola atau menjaga sumber daya (alam maupun manusia) Akejira. Pendekatan holistik dikembangkan pada masyarakat Tobelo Dalam yang masih bertahan dengan 'spiritualitas tak beragama' dan tradisi penghormatan nilai-nilai leluhur.

Pendekatan organis dapat dikembangkan kepada masyarakat Tobelo Dalam yang sudah tersentuh agama agar dalam mengelola bumi, tanah dan air Halmahera beralaskan motif devosi (kebaktian/ibadah) berdasar ajaran agamanya.

Penulis tak memungkiri adanya usaha-usaha pemerintah maupun instistusi keagamaan yang tengah menyuluhkan 'nilai-nilai spiritualitas baru' bagi sebagian masyarakat Tobelo Dalam, dan masyarakat adat lainnya.

Pendekata organis juga dapat dikembangkan pada parapihak lain yang terkait dengan pengelolaan sumber daya Akejira, seperti (aparat) pemerintah, (pegiat/pekerja) korporat, (pegiat) Ornop dan masyarakat pesisir.

Bahwa menjaga dan mengelola Akejira adalah menjaga amanat Tuhan bernama bumi sekaligus menjalankan fungsi devosi/kebaktian atau Hamba Tuhan ('Abdullah). Maka, segala tindakan kelola Akejira tersebut memiliki konsekuensi spiritual, sosial dan ekologi, baik pahala-kebahagiaan-manfaat maupun dosa-bala-mudharat. Wallahu a'lam.

* Pernah termuat di Harian Malut Post, 13 November 2019

Dalia, usia 4 tahun, anak Suku Tobelo Dalam (TD) yang hingga kini bertahan hidup di Hutan Akejira Halmahera  *)

Sumber foto : Barlianto Bawang/AMAN Maluku Utara

*) Suku Tobelo Dalam (TD), atau Ohongana Manyawa, disebut juga Suku Togutil, merupakan salah satu suku nomaden di Hutan Halmahera. Saat ini ada 21 kelompok TD yang menyebar di hutan Halmahera, selain kelompok Ake Jira yang kini tersisa 8 (delapan) orang. Dalia harus berpisah dengan ayahnya, Bokum, pemimpin kelompok TD yang dipenjara 15 tahun karena tuduhan pembunuhan/kriminalisasi. Semenjak ditangkapnya Bokum (dan Nuhu), suku TD Ake Jira kehilangan pemimpin kelompok. Akhirnya yang berperan untuk berburu dan meramu adalah para perempuan, termasuk istri Bokum. Dalia yang lugu, sehari-hari ikut ibunya berburu, meramu sagu dan bercocok tanam untuk bisa bertahan hidup. https://twitter.com/adlunfiqri/status/1170589602161160193

Referensi:

Abdullah, Mudhofir, 2010. Al Qur'an dan Konservasi Lingkungan, Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari'ah, Jakarta : Dian Rakyat, h. 133.

Attfield, Robin, 2010. Etika Lingkungan Global, cetakan pertama, Jogjakarta : Kreasi Wacana, h. 56.

Mahmud, Muh. Arba'in, 2015 1). Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Pengendalian Ekosistem Hutan Maluku Utara, Yogyakarta : The Phinisi Press

Murata, Sachiko, 2004, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Cetakan IX, Mizan, Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun