Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Politik Hari Bakti Rimbawan

5 April 2019   22:17 Diperbarui: 5 April 2019   23:27 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melalui tulisan ini, penulis mencoba mendedah terminologi rimbawan. Untuk menetralisir kata 'rimbawan' yang relatif bias jender -seakan sosok maskulin, penulis sendiri menawarkan term 'perimba', seperti halnya petani, pekebun, dan pewarta.

Namun terlepas dari perdebatan dua terminologi ini, penulis berfokus pada pemaknaan tentang subjek / pelaku atau pemangku kepentingan bidang kehutanan. Agar perayaan Hari Bakti Rimbawan ini benar-benar dirasakan oleh semua pihak dan kalangan.

Yang pertama dan pasti menyebut diri sebagai rimbawan adalah para aparat negara yang membidangi kehutanan, baik pemerintah pusat maupun daerah (provinsi / kabupaten / kota). Para aparat ini merupakan subjek langsung yang diamanati untuk mengelola sumber daya hutan (SDH) sebagai representasi eksekutif, salah satu pilar demokrasi.

Rimbawan kedua adalah para pelaku usaha bidang kehutanan, dari usaha kecil (level petani hutan) hingga skala besar (perusahaan / badan usaha). Subjek kedua ini sebagian besar memanfaatkan potensi SDH dari aspek nilai ekonomi, di sektor produksi (hasil kayu maupun non kayu) hingga sektor jasa pendukung semisal transportasi dan jasa lingkungan.

Rimbawan ketiga adalah para pegiat sosial -- budaya bidang kehutanan, baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, lembaga sosial -- agama dan adat, organisasi profesi, hingga sekadar kelompok studi. Jika mengacu pada makna ketiga ini, maka semua kelompok / komunitas -minimal dua orang- yang concern bidang kehutanan pun dapat dikategorikan sebagai rimbawan.

Terakhir, subjek yang dapat dikategorikan sebagai rimbawan adalah masyarakat umum yang merasakan manfaat dan dampak langsung maupun tak langsung dengan keberadaan hutan. Awang (2006) melalui konsep Eco-Friendly Forest Management (EFFM) atau Pengelolaan Ekosistem Hutan secara Bersahabat menawarkan pengertian hutan secara luas. Bahwa hutan bukan sekadar komponen flora dan satwa, tapi juga mencakup manusia dan lingkungannya dengan rumusan OH = f (flora, fauna, manusia, lingkungan). Epistemologi EFFM mengkonstruksikan terbentuknya pengetahuan SDH yang mewajibkan sinergi antara flora, fauna, manusia dan lingkungan secara utuh, bukan terpisah-pisah antar komponen-komponen ontologisnya.

Jika merunut kriteria keempat subjek tersebut, makna rimbawan sejatinya luas dalam artian masyarakat rimbawan adalah semua manusia penghuni muka bumi. Semua masyarakat hulu, tengah hingga hilir daerah aliran sungai (DAS) dapat dikategorikan sebagai rimbawan, entah berlabel masyarakat adat, 'orang desa', 'orang kota' ataupun 'anak gaul' atau 'generasi galau'. Dengan demikian, sejatinya kita semua adalah perimba, --yang sebelumnya masih terkungkung di ruang sempit persangkaan, bahwa hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kehutanan yang disebut rimbawan.

POLITIK EKOTEOLOGI : SEBUAH PESAN
Sebagai sintesa tulisan ini, antara dua hal berbeda dari term 'politik' dan 'rimbawan', penulis menawarkan konsep politik ekoteologi di perayaan Hari Bakti Rimbawan. Ekoteologi (ecotheology) merupakan bentuk teologi konstruktif yang membahas interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan (Abdullah:2010). Isu ekoteologi sendiri diawali dari pandangan Lynn White, Jr (1967) melalui publikasi berjudul : "The Historical Roots of Our Ecological Crisis" yang mengkritik cara pandang agama tentang penguasaan alam yang terlampau eksploitatif sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Tafsir-tafsir keagamaan berkenaan dengan lingkungan diperbarui dan dirumuskan ke dalam konsep-konsep utama yang pro-life dan pro-lingkungan. Beberapa penggerak ekoteologi dari intelektual antara lain Mary Evelyn Tucker (tokoh Kristen) serta Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Yusuf Qaradhawi dan Al-Ghazali (tokoh Islam).

Politik ekoteologi bertolak dari pandangan positif konsep 'politik' di atas disinergikan dengan konsep pelestarian lingkungan, termasuk SDH. Politik ekoteologi sebagai sebuah 'politik lingkungan' merupakan seni berkebijaksanaan untuk mengelola sumber daya alam dengan lambar keyakinan sebagai hamba Tuhan ('Abdullah) sekaligus pengemban misi 'wali bumi' (khalifah fil 'ardhi).

Maka, ketika individu yang 'baligh politik' terjun ke dunia tersebut hendaknya dilandasi oleh dorongan devosi (ibadah / kebaktian kepada Tuhan), lebih dari sekadar kepatuhan sebagai kader partai pun 'anak buah' ketua partai yang notabene 'makhluk'. Selain itu, misi sebagai penjaga kelangsungan kehidupan muka bumi pun harus tertanam di kesadaran para politisi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun