Mohon tunggu...
Moehar Sjahdi
Moehar Sjahdi Mohon Tunggu... Freelancer - Titik nihil

Lelaki sagu dari Tenggara Maluku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maluku, Malino, Masela

20 Agustus 2018   06:20 Diperbarui: 20 Agustus 2018   08:34 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesta pilkada (pemilihan kepala daerah), baik bupati, walikota, maupun gubernur baru saja usai. Pilkada serentak yang dilaksanakan pada tiga tahap (2015, 2016 & 2018) di seluruh wilayah Indonesia. Tak menunggu lama lagi, pesta akan mulai kembali semarak. Pileg (pemilihan legislatif) dan pilpres (pemilihan presiden) yang akan dihelat secara serentak besok, di tahun 2019.

Sebagai rentetan hajatan politik, pesta lima tahunan ini, kerap meninggalkan jejak. Segera  setelah pesta tersebut berakhir. Entah itu berupa euforia kemenangan atau lelah, pasrah, gelisah karena kalah. Suatu hal yang lumrah. Sebab, di sepanjang tahun 2015 hingga 2019 besok, kondisi demikian, tentu masih akan terus terasa begitu menggema. Sebuah kondisi yang menggejala sepanjang "tahun politik".

Provinsi Maluku sebagai salah satu peserta pilkada serentak kemarin, tidak terlepas dari dinamika yang menjejak itu. Perhelatan pilkada yang diselenggarakan di beberapa kabupaten/kota dan provinsi Maluku tersebut, mestinya terus menjadi perhatian tersendiri bagi warga Maluku tanpa terkecuali. 

Bahwa kemelut politik yang sempat terjadi lantaran perbedaan pilihan kandidat, warna bendera, ideologi, ikatan suku (klan, marga, dan lain-lain) maupun agama, sudah seharusnya diakhiri.

Mengapa? Setidaknya, ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, Maluku adalah "rumah bersama" yang diwariskan bagi kehidupan bersama setiap warga Maluku. Bahwa pelajaran berharga---yang mungkin masih begitu membekas di benak setiap anak negeri Maluku saat itu, (lebih tepatnya) sebagai peristiwa politik---dari sejarah konflik 1999, menjadi alasan logis bahwa stereotip tentang orang Maluku sebagai tukang rusuh itu, atau mudah sekali diadu domba, sungguh tidak benar adanya. 

Kesepakatan Malino, kemudian menjadi sebuah "momentum" bersejarah yang menjadi bukti bahwa orang Maluku justru dapat hidup lebih baik, terbuka, saling mengasihi, demokratis, dan seterusnya, sesuai dengan apa yang diharapkan bersama.

Kedua, Maluku adalah titik temu "masa depan" Indonesia. Terkait dengan hal ini, hanya tinggal menunggu waktu. Sebagaimana biasanya, sejarah akan bergerak kembali ke titik di mana ia bermula. Sebuah proses dialektika. Sebab, Maluku adalah alasan mengapa dunia (akan terus) "melirik" Nusantara. Sebab, sejak dulu (hingga nanti), Maluku adalah primadona yang terus menggoda. Jika dulu tentang Cengkih dan Pala, hari ini tentang gas blok Masela.

Malino, sebuah kesepakatan politik?

Episode kekuasaan, tentu merepresentasi rangkaian peristiwa yang terjadi di masyarakat sebagai sebuah sebuah realitas itu sendiri. Kesepakatan Malino dalam hal ini, bukan tidak mungkin menjadi bagian yang inheren dengan episode dimaksud. Konflik bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) di Maluku tersebut, akhirnya berangsur reda ditandai dengan terjadinya kesepakatan Malino (baca: Malino II).

Malino sendiri merupakan inisiatif strategis yang bermula dari gerakan sadar pihak-pihak yang---difasilitasi oleh tokoh-tokoh tertentu---berkonflik di Poso, Sulawesi Tengah. Atas dasar itu, kesepakatan Malino untuk pertama kali dideklarasikan, sehingga disebut sebagai kesepakatan "Malino I". Poso ialah satu di antara wilayah yang berkecamuk pada saat itu, selain beberapa wilayah di Indonesia lainnya, termasuk Maluku.

Gejolak yang terjadi di Jakarta pada 1998, tepatnya, pasca lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaannya (yang kurang lebih tiga dekade) sebagai Presiden RI, praktis meninggalkan jejak kelam bagi sejarah kehidupan anak bangsa pada masa itu. 

Rentetan konflik antar massa yang terjadi di daerah-daerah pun tak bisa dibendung. Seperti "efek bola salju" yang semakin membesar dan menggelinding ke mana-mana.

Dalam sebuah tulisan bertajuk "Anatomi Konflik Komunal di Indonesia: Kasus Maluku, Poso dan Kalimantan 1998-2002," oleh Prof. Tamrin Amal Tomagola (2007), menyebutkan bahwa perlunya mencermati konteks sehinga memungkinkan upaya perdamaian Malino itu berlangsung dan berhasil mereduksi tingkat kekerasan secara signifikan. 

Menurut Tomagola, secara kontekstual, kesepakatan Malino dilatarbelakangi oleh situasi konflik di daerah-daerah konflik tersebut, di mana pada akhirnya muncul keinginan bersama dari pihak-pihak yang berkonflik untuk berdamai.

Selain itu, pun ditandai dengan turunnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari tahta presiden, digantikan oleh Megawati Sukarnoputeri melalui aliansi strategisnya dengan militer. Megawati dinilai mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik kalangan militer. 

Terakhir, terkait dengan merebaknya isu perang global melawan terorisme yang semakin massif digencarkan, terutama oleh AS sebagai isu bersama. Beberapa poin penting tersebut kemudian diklasifikasi menjadi konteks lokal, nasional dan internasional.  

Dengan demikian, berdasarkan kontekstualisasi tersebut, Malino sebagai sebuah kesepakatan dapat terwujud. Khususnya pada kesepakatan Malino II di Maluku, meski tidak sesistematis seperti yang terjadi di Poso, namun dampak positif dari kesepakatan tersebut masih dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Maluku hingga hari ini. 

Selain "dampak negatif"nya, tentu---setidaknya, menurut saya---lebih dititiktekankan pada ketaksepahaman kita (terutama selaku warga Maluku) menerjemahkan kesepakatan tersebut ke dalam sebuah proses demokrasi, ketika bertepatan dengan momentum pemilihan gubernur dan wakil gubernur.

Terlepas dari kenyataan bahwa melalui proses panjang penyelenggaraan pilgub kemarin, telah terpilih gubernur dan wakil gubernur baru provinsi Maluku, yaitu pasangan cagub-cawagub Irjen. Pol. Hi. Murad Ismail dan Drs. Barnabas Orno, justru tak lantas menafikkan isyarat---yang secara implisit termaktub di dalam---kesepakatan Malino II. Artinya, jikapun yang demikan itu benar adanya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa "kesepakatan" dimaksud lebih sesuai diafirmasi sebagai sebuah kesepakatan politik ketimbang murni sebuah upaya rekonsiliasi. Tentunya dengan merujuk pada beberapa konteks yang melatarbelakanginya.         

Masa depan itu bernama Masela

Ketika mencermati kesepakatan Malino yang murni sebagai sebuah upaya reintegrasi, rekonsiliasi, serta padanan kata yang berkonotasi penyatuan kembali, maka sebuah catatan penting oleh Hatib Abdul Kadir, pengajar Antropologi di Universitas Brawijaya, berjudul: Dialektika "Baku Masuk" Islam Kristen di Maluku,[1] menjadi penting untuk diperhatikan. Sebuah konstruksi antropologis atas realitas konflik di Maluku.

Menurutnya, seperti menenun, "baku masuk" lebih menyerupai menyimpul tali atau bersalaman. Tapi ia (baku masuk) tidak menunjukan soliditas, melainkan cair dan mengalirnya relasi sosial. Ia tidak pernah selesai karena saling menyimpul satu sama lain. Oleh sebabnya, simpul relasi Islam dengan Kristen di Maluku bersifat dialektis, dan juga penuh dengan paradoks. 

Ia dijalin dengan kasih sayang, tapi juga ada curiga. Dengan demikian, baku masuk bukanlah harmoni, melainkan dialektika. Adanya pembedaan antara harmoni dengan dialektika tersebut, lebih ditekankan pada konsepsi kesatuan berdasarkan imajinasi politik Jawa dengan relasi etnis dan agama yang ada di Maluku.

Lantas, apa korelasinya dengan Masela? Tepat di sini, saya menemukan alasan bahwa sebuah pendekatan antropologis, sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, justru secara lunak, mengarahkan imajinasi kita ke sana. Kepada dunia yang disebut "masa depan" itu. Suatu dunia yang hanya bisa dijangkau melalui proses dialektika, di mana Masela merupakan (satu dari sekian) hasil rangkaian proses tersebut.

Masela ialah masa depan Maluku. Tentunya sebuah masa depan didahului oleh masa lalu. Maluku merupakan sebuah dunia yang merentang dari masa lalunya ke masa depan. Leonard Y. Andaya (2015)[2],  pernah mencatat bahwa Dunia Maluku di masa lalu ialah kepulauan volkanik yang dari tanahnya tumbuh rempah-rempah---oleh sebabnya, kemudian disebut juga sebagai Kepulauan Rempah (the spice islands)---sebagai simbol kejayaan pada saat itu. 

Aroma rempah-rempah tersebut yang menarik minat bangsa-bangsa Eropa dan bangsa asing lainnya untuk pergi ke Kepulauan Maluku di Indonesia Timur. Rempah-rempah menjadi komoditi utama dunia yang menentukan kelas sosial sekaligus sumber kekuasaan. Rempah-rempah dimaksud antara lain, terutama Cengkih (Eugenia aromatica) dan Pala (Myristica fragrans).

Kini, memasuki abad milenial, melalui sebuah proses panjang sejarah, babak baru kejayaan Maluku akan dimulai dari titik awal sejarahnya sendiri sebagai---meminjam istilah Komarudin Watubun (2017)[3]---"staging point" RI abad 21. 

Pada titik ini, Maluku adalah kepulauan volkanik yang menyimpan sumber daya mineral (migas dan energi) yang begitu melimpah, yang bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia. Atas dasar itu pula, maka bukan suatu hal yang mustahil, jika posisi tawar Maluku hari ini ialah tetap menjadi sebuah wilayah (provinsi) kepulauan yang sedianya mendapat legitimasi secara konstitusional oleh negara, demi kepentingan strategis geoekonomi maupun geopolitik Indonesia di masa depan.

Adalah gas blok Masela, sebagaimana ditulis Watubun, menjadi alasan bahwa pilihan bagi Maluku ialah memperkuat kapital berbasis keahlian, sains dan teknologi guna mengekstraksi sumber-sumber alam, termasuk minyak dan gas, yang dapat memenuhi kebutuhan Asia Pasifik selama abad 21. Sasarannya ialah kesejahteraan rakyat Maluku, kawasan, dan negara RI serta sehat-lestarinya lingkungan Maluku dan sekitarnya. 

Sebab, tanpa pilihan tersebut, terlepas dari tujuan atau manuver politik oleh pihak tertentu, baik di dalam maupun luar negeri, maka cita-cita menegakkan kedaulatan energi sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional hanya sekadar isapan jempol belaka. Apalagi di tengah-tengah kisruh pembahasan revisi UU Migas yang belum jelas nasibnya hingga saat ini. Tentu, tak harus demikian.

parbanusantara.co.id
parbanusantara.co.id
Dus, pada faktanya, Maluku hari ini masih tetap berada di bawah garis kemiskinan. BPS (2018), misalnya, merilis bahwa untuk Maluku-Papua dengan 21, 20% merupakan angka kemiskinan yang paling besar di Indonesia Timur, jika dilihat berdasarkan pulau. 

Dengan menempati posisi ke empat provinsi termiskin di Indonesia, mestinya ada harapan baik bagi Maluku esok untuk dapat bangkit dari ketertinggalannya di tengah-tengah kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki.

Akhirnya, di usia 73 tahun kelahiran, optimisme untuk terus menjaga dan merawat kedaulatan NKRI (di segala bidang) ialah bukti dari komitmen serta bentuk kebaktian kita yang luhur, demi kemajuan bangsa ini lebih baik di waktu-waktu mendatang. Paling tidak, hal tersebut bisa dimulai (kembali) dari Maluku. Sebuah negeri kepulauan di ujung Timur Indonesia yang menjadi "rumah bersama sekaligus masa depan" Indonesia. Semoga! 

Sumber:

  1. Andaya, Leonard Y. "Dunia Maluku: Indonesia Timur Pada Zaman Awal Modern." Yogyakarta: Ombak, 2015
  2. Watubun, Komarudin. "Maluku, 'Staging Point' RI Abad 21, Jejak 800 Tahun Maluku: Dulu, Kini dan Ke Depan." Yayasan Taman Pustaka, 2017.
  3. Dialektika ‘Baku Masuk’ Islam-Kristen di Maluku 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun