Rentetan konflik antar massa yang terjadi di daerah-daerah pun tak bisa dibendung. Seperti "efek bola salju" yang semakin membesar dan menggelinding ke mana-mana.
Dalam sebuah tulisan bertajuk "Anatomi Konflik Komunal di Indonesia: Kasus Maluku, Poso dan Kalimantan 1998-2002," oleh Prof. Tamrin Amal Tomagola (2007), menyebutkan bahwa perlunya mencermati konteks sehinga memungkinkan upaya perdamaian Malino itu berlangsung dan berhasil mereduksi tingkat kekerasan secara signifikan.Â
Menurut Tomagola, secara kontekstual, kesepakatan Malino dilatarbelakangi oleh situasi konflik di daerah-daerah konflik tersebut, di mana pada akhirnya muncul keinginan bersama dari pihak-pihak yang berkonflik untuk berdamai.
Selain itu, pun ditandai dengan turunnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari tahta presiden, digantikan oleh Megawati Sukarnoputeri melalui aliansi strategisnya dengan militer. Megawati dinilai mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik kalangan militer.Â
Terakhir, terkait dengan merebaknya isu perang global melawan terorisme yang semakin massif digencarkan, terutama oleh AS sebagai isu bersama. Beberapa poin penting tersebut kemudian diklasifikasi menjadi konteks lokal, nasional dan internasional. Â
Dengan demikian, berdasarkan kontekstualisasi tersebut, Malino sebagai sebuah kesepakatan dapat terwujud. Khususnya pada kesepakatan Malino II di Maluku, meski tidak sesistematis seperti yang terjadi di Poso, namun dampak positif dari kesepakatan tersebut masih dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Maluku hingga hari ini.Â
Selain "dampak negatif"nya, tentu---setidaknya, menurut saya---lebih dititiktekankan pada ketaksepahaman kita (terutama selaku warga Maluku) menerjemahkan kesepakatan tersebut ke dalam sebuah proses demokrasi, ketika bertepatan dengan momentum pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Terlepas dari kenyataan bahwa melalui proses panjang penyelenggaraan pilgub kemarin, telah terpilih gubernur dan wakil gubernur baru provinsi Maluku, yaitu pasangan cagub-cawagub Irjen. Pol. Hi. Murad Ismail dan Drs. Barnabas Orno, justru tak lantas menafikkan isyarat---yang secara implisit termaktub di dalam---kesepakatan Malino II. Artinya, jikapun yang demikan itu benar adanya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa "kesepakatan" dimaksud lebih sesuai diafirmasi sebagai sebuah kesepakatan politik ketimbang murni sebuah upaya rekonsiliasi. Tentunya dengan merujuk pada beberapa konteks yang melatarbelakanginya.    Â
Masa depan itu bernama Masela
Ketika mencermati kesepakatan Malino yang murni sebagai sebuah upaya reintegrasi, rekonsiliasi, serta padanan kata yang berkonotasi penyatuan kembali, maka sebuah catatan penting oleh Hatib Abdul Kadir, pengajar Antropologi di Universitas Brawijaya, berjudul: Dialektika "Baku Masuk" Islam Kristen di Maluku,[1] menjadi penting untuk diperhatikan. Sebuah konstruksi antropologis atas realitas konflik di Maluku.
Menurutnya, seperti menenun, "baku masuk" lebih menyerupai menyimpul tali atau bersalaman. Tapi ia (baku masuk) tidak menunjukan soliditas, melainkan cair dan mengalirnya relasi sosial. Ia tidak pernah selesai karena saling menyimpul satu sama lain. Oleh sebabnya, simpul relasi Islam dengan Kristen di Maluku bersifat dialektis, dan juga penuh dengan paradoks.Â