Dalam dunia yang semakin terkoneksi, perhatian kita telah menjadi komoditas. Setiap notifikasi, gulir tanpa akhir, dan konten yang disesuaikan oleh algoritma dirancang bukan hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk menguasai waktu dan pikiran kita. Kita mungkin berpikir teknologi adalah alat yang membantu kehidupan, tetapi pertanyaan besar terus muncul: apakah kita masih mengendalikan teknologi, atau justru teknologi yang mengendalikan kita?
Dampak dari "ekonomi perhatian" ini dirasakan oleh banyak orang, termasuk saya sendiri. Malam-malam yang dulunya tenang kini berubah menjadi pertempuran batin melawan dorongan untuk terus memeriksa layar ponsel. Artikel dari The Guardian menyebutkan bahwa perhatian kita adalah sumber daya yang diperebutkan oleh berbagai perusahaan teknologi. Dalam konteks ini, manusia bukan hanya konsumen, tetapi juga "produk" yang dijual kepada pengiklan. Jejak digital yang kita tinggalkan setiap hari, atau yang dikenal sebagai "data exhaust," menjadi bahan bakar utama bagi algoritma untuk memahami kebiasaan, preferensi, dan bahkan kelemahan kita.
Algoritma: Sahabat atau Penguasa?
Sebagai makhluk yang mencari pola, manusia sangat rentan terhadap desain algoritma. Media sosial dan platform digital memanfaatkan kecenderungan ini untuk menciptakan pengalaman yang semakin personal. Namun, personalisasi ini datang dengan harga: kebebasan kita. Kita tidak lagi sekadar memilih apa yang kita konsumsi; algoritma telah mengatur apa yang terlihat di layar kita.
Artikel di Social Media + Society mengungkapkan bagaimana algoritma tidak hanya menyajikan informasi, tetapi juga memengaruhi bagaimana kita berpikir, bertindak, dan berinteraksi. Misalnya, rekomendasi video di YouTube atau unggahan di Instagram dirancang untuk menjaga kita tetap berada di platform selama mungkin. Efeknya, kita menjadi pasif, hanya mengikuti apa yang disodorkan tanpa benar-benar berpikir kritis.
Noema Magazine menyebut fenomena ini sebagai "infopocalypse," sebuah era di mana informasi yang melimpah tidak lagi membawa kebijaksanaan, melainkan kebingungan. Kita tenggelam dalam banjir pilihan yang tak ada habisnya, sementara algoritma menentukan mana yang layak untuk kita lihat. Akibatnya, kehadiran kita dalam kehidupan nyata tergantikan oleh konsumsi digital yang pasif dan otomatis.
Refleksi Pribadi: Terperangkap dalam Jaring Digital
Pengaruh algoritma tidak hanya teoretis; saya sendiri telah merasakannya. Suatu malam, saya terbangun karena suara notifikasi di ponsel. Meski terlihat sepele, momen itu menyentak saya: apakah saya lebih sering terjaga karena ponsel daripada suara burung atau angin pagi? Pengalaman ini membuat saya bertanya-tanya, apakah saya benar-benar memilih bagaimana saya menghabiskan waktu, atau apakah algoritma telah memilihkan untuk saya?
Kesadaran ini membawa saya pada refleksi yang lebih dalam tentang hubungan saya dengan teknologi. Ponsel, yang awalnya saya anggap sebagai alat untuk produktivitas dan koneksi sosial, ternyata memiliki kendali lebih besar atas waktu saya daripada yang saya sadari.
Melawan Ekonomi Perhatian
Setelah merenungkan pengalaman tersebut, saya memutuskan untuk mencoba "puasa digital." Ini adalah upaya untuk mengambil kembali kendali atas perhatian saya. Langkah pertama yang saya lakukan adalah mematikan notifikasi yang tidak perlu. Saya menyadari bahwa banyak dari notifikasi itu tidak penting, tetapi hanya dirancang untuk menarik perhatian saya.
Langkah berikutnya adalah menetapkan waktu khusus untuk mengakses media sosial. Alih-alih membuka aplikasi kapan saja, saya membatasinya pada waktu tertentu, misalnya hanya di pagi hari atau setelah jam kerja. Selain itu, saya mulai meluangkan waktu untuk menikmati keheningan tanpa gangguan teknologi, seperti duduk di taman atau membaca buku fisik.
Terakhir, saya mencoba mengkurasi konten secara sadar. Jika sebelumnya saya membiarkan algoritma memilihkan apa yang harus saya konsumsi, sekarang saya mengambil kendali untuk memilih sendiri artikel atau video yang benar-benar saya anggap bermanfaat.
Hasilnya? Saya merasa lebih tenang dan lebih fokus. Hubungan saya dengan orang-orang di sekitar juga menjadi lebih baik, karena saya lebih hadir dalam percakapan dan aktivitas sehari-hari.
Mengembalikan Makna Kehidupan
Ekonomi perhatian tidak berarti kita harus menolak teknologi sepenuhnya. Sebaliknya, kita perlu belajar menggunakan teknologi dengan bijak. Perhatian adalah sumber daya yang sangat berharga, dan ketika kita mengambil kembali kendali atas perhatian kita, kita akan menemukan hal-hal yang benar-benar penting: makna, hubungan, dan kebahagiaan.
Seperti yang dikatakan artikel di The Guardian, perhatian kita tidak hanya soal waktu yang dihabiskan, tetapi juga bagaimana kita hidup. Ketika perhatian kita terkuras oleh layar, kita kehilangan kesempatan untuk merasakan kehidupan dengan kehadiran penuh. Oleh karena itu, perjuangan melawan algoritma bukan hanya perjuangan individu, tetapi juga perjuangan untuk memulihkan kemanusiaan kita.
Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Bertindak
Di tengah gegap gempita teknologi, penting bagi kita untuk mengingat bahwa kita bukan mesin. Kita adalah manusia yang dirancang untuk merasakan, hidup, dan hadir sepenuhnya. Mengambil kembali kendali atas perhatian kita adalah langkah kecil, tetapi memiliki dampak besar dalam mengembalikan keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata.
Jadi, apakah Anda siap untuk merebut kembali kendali atas perhatian Anda? Langkah kecil seperti mematikan notifikasi, mengurangi waktu di media sosial, atau menikmati keheningan bisa menjadi awal yang baik. Pada akhirnya, perhatian Anda adalah milik Anda. Jangan biarkan algoritma mengambil alih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H