Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang makin kompleks, sering kita dapati jalan umum yang tiba-tiba berubah fungsi menjadi arena hajatan, tempat tenda berdiri megah, atau bahkan panggung hiburan. Semua itu dilakukan atas nama "tradisi," "adat," atau sekadar "sudah biasa." Tetapi, pernahkah kita bertanya, hak siapa yang sebenarnya kita ambil?
Seperti kata pepatah, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Adat dan tradisi memang harus dihormati. Namun, jangan sampai adat yang dijunjung justru malah merampas hak orang lain yang juga menginjakkan kaki di tanah yang sama. Jalan umum adalah ruang bersama, milik semua orang, dan seyogyanya juga digunakan untuk kepentingan bersama pula.
Blokade Jalan: Kepentingan Siapa yang Diutamakan?
Pernikahan anak tetangga, pengajian besar-besaran, atau sekadar tasyakuran sering menjadi alasan untuk "menguasai" jalanan. Alasannya? "Toh, warga sekitar tidak ada yang protes." Pernyataan semacam ini sering kali muncul, namun benarkah semua orang benar-benar setuju? Atau mereka hanya diam karena takut dicap "tidak tahu adat"?
Padahal, dampak blokade jalan ini sangat nyata. Jalanan yang ditutup untuk hajatan bisa memicu kemacetan panjang, membuat pekerja terlambat, bahkan menghambat kendaraan darurat seperti ambulans. Apakah kita rela pesta kita menjadi penyebab seseorang kehilangan nyawa karena terlambat sampai rumah sakit?
"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga," demikian peribahasa mengingatkan kita. Ego pribadi atau kelompok kecil sepatutnya tidaklah boleh mengorbankan kepentingan yang jauh lebih besar.
Pelayanan Pemerintah: Masih Jauh dari Harapan?
Tidak sepenuhnya salah masyarakat yang terpaksa menggunakan jalan umum untuk mengadakan acara. Sebagian besar dari mereka tidak punya alternatif lain. Gedung serbaguna atau fasilitas publik yang layak sering kali minim atau bahkan tidak ada. Kalau pun ada, biaya sewanya kerap kali tidak ramah di kantong masyarakat biasa.
Di sinilah peran pemerintah seharusnya muncul. Membuat kebijakan yang lebih ramah bagi rakyat kecil, seperti menyediakan gedung serbaguna dengan biaya terjangkau atau bahkan gratis untuk warga. Dengan fasilitas yang memadai, kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi tanpa harus mengganggu hak orang lain.
Selain itu, proses perizinan blokade jalan oleh aparat setempat harusnya lebih transparan dan tegas. Tidaklah boleh ada izin yang dapat dengan mudah diberikan sembarangan, apalagi jika dampaknya terlalu besar bagi pengguna jalan umum.
Ajakan untuk Kita Semua
Sebagai masyarakat, mari kita introspeksi. "Yang berhak di jalan bukan hanya kita." Apa yang terasa kecil bagi kita bisa menjadi besar bagi orang lain. Jangan sampai ego sesaat menutupi rasa peduli terhadap sesama. Mulailah memikirkan solusi alternatif seperti menyewa gedung, menggunakan halaman rumah, atau menyelenggarakan acara dengan lebih sederhana.
Kepada pemerintah, kami menitipkan harapan. Jangan membiarkan masyarakat terus saling berselisih hanya karena tidak ada ruang yang cukup untuk kebutuhan mereka. Buatlah kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat kecil tanpa melanggar hak publik.
"Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing." Kalau semua pihak mau bekerja sama, tidak ada masalah yang terlalu sulit untuk diselesaikan. Mari kita ciptakan ruang bersama yang adil untuk semua. Kita memang harus menjaga adat dan tradisi, tetapi tidak dengan cara yang mengorbankan harmoni sosial.
Jadi, lain kali ketika ada tenda berdiri di tengah jalan, mari kita bertanya: "Apakah ini hanya soal adat, ataukah soal ego?" Jangan sampai jawaban itu membuat kita malu terhadap diri sendiri. Karena jalan umum adalah hak semua orang, bukan panggung pribadi untuk segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H