Bukan hanya perihal musiknya saja, melainkan juga suasana yang diciptakan. Tak ada pembatas, tidak ada seleksi. Lantas apa yang tersisa dari identitas kita? Ketika acara yang diselenggarakan terlihat seperti acara yang biasanya kita temukan di pusat hiburan malam? Ketika lekuk tubuh lebih ditonjolkan daripada makna spiritual? Apakah ini citra yang ingin ditampilkan oleh kampus yang membawa nama Islam? Bagaimana bisa nilai-nilai keislaman dapat ikut berdampingan dengan lekuk tubuh yang dipertontonkan tanpa batas atau suasana yang menyerupai hiburan malam? Dan apakah ini langkah yang benar untuk menarik perhatian mahasiswa baru?
Tentunya kita paham bahwa seni dan hiburan tidak harus dibatasi, tetapi seharusnya dirancang untuk mendidik, menginspirasi, dan tetap memegang teguh prinsip. Hiburan yang ditampilkan tanpa adanya kendali justru mengikis identitas yang selama ini diperjuangkan.
Dll
Menakar Makna Moderasi
Konsep Moderasi sering kali menjadi dalih untuk merasionalisasi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai inti kita. Moderasi bukan berarti membiarkan apa saja masuk tanpa filter. Moderasi adalah tentang menjaga keseimbangan, tanpa kehilangan kehilangan akar dan pijakan pada prinsip. Moderasi sering kali disalahartikan sebagai alasan untuk menerima segala hal tanpa kritik.
Di era modern ini, kita sering terpukau dengan istilah inklusif dan progresif. Namun, kita lupa bahwa progres tidak selalu berarti meninggalkan akar. Sebagai institusi yang mengusung nilai Islam, acara seperti ini justru menjadi paradoks. Bukan refleksi kemajuan, melainkan tanda hilangnya arah.
Konser seperti ini bukanlah moderasi. Ini adalah bentuk kompromi yang merugikan identitas. Moderasi tidak berarti kita harus meninggalkan prinsip demi popularitas atau tren. Sebaliknya, moderasi harus menunjukkan bahwa Islam relevan dengan zaman tanpa harus kehilangan esensinya.
Adakah Alternatif?
Tentu, terdapa hiburan yang sejalan dengan nilai keislaman. Mengapa tidak mencoba untuk mempertimbangkan konser shalawat yang dibalut dengan seni modern? Atau pertunjukan budaya lokal yang Islami dan edukatif? Bukankah ini akan lebih mendidik dan juga sekaligus dapat menghibur?
Evaluasi dan Refleksi
Festival Watoe Dhakon (FWD) memiliki potensi besar untuk menjadi ajang yang mencerminkan intelektualisme, spiritualitas, dan budaya. Namun, penutupan dengan konser bernuansa pesta malam menciptakan ironi yang sulit diabaikan. Sebagai bagian dari kampanye marketing, pendekatan ini justru menciptakan kebingungan alih-alih menarik minat yang tepat.