Mohon tunggu...
Muhammad Zurri Shulthan
Muhammad Zurri Shulthan Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa

seorang pelajar yang suka ngopi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PBAK 2024 IAIN Ponorogo: Ketika Eksistensialisme Menggadaikan Nalar Kritis Mahasiswa

18 Agustus 2024   11:28 Diperbarui: 18 Agustus 2024   11:37 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) seharusnya menjadi momen krusial bagi mahasiswa baru untuk memahami jati diri mereka sebagai akademisi. Di IAIN Ponorogo, acara ini berlangsung pada 15-17 Agustus 2024 dengan tujuan awal yang mulia, yakni penanaman nilai-nilai dan citra diri mahasiswa yang sesuai dengan peran serta fungsi mereka. Namun, apa yang terjadi di lapangan justru menjadi ironi besar yang menimbulkan pertanyaan tentang prioritas dan etika pendidikan di kampus ini.

Permasalahan berawal dari keputusan panitia PBAK yang menggantikan anggaran makan siang mahasiswa dengan dana untuk mengadakan konser sebagai bagian dari inagurasi. Keputusan ini bukan hanya meresahkan, tetapi juga mencerminkan kecenderungan pragmatisme yang mengikis esensi akademik dan mengancam nalar kritis mahasiswa.


Kebutuhan Dasar yang Diabaikan

Makan siang bukan sekadar rutinitas, melainkan kebutuhan mendasar yang mendukung fisik dan mental mahasiswa untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan. Mengalihkannya demi sebuah konser menunjukkan betapa rendahnya apresiasi terhadap kebutuhan dasar mahasiswa. Tidak semua mahasiswa dapat mengikuti konser tersebut, terutama mereka yang tinggal di pesantren dan dilarang oleh kyai mereka untuk menghadiri acara hiburan seperti itu. Keputusan ini mengasingkan sebagian mahasiswa dan mengorbankan kesejahteraan mereka demi sesuatu yang tidak relevan dengan tujuan akademik.


Dok Pribadi
Dok Pribadi
Keputusan Panitia: Bentuk Ketidakpedulian atau Kesalahan Prioritas?

Keputusan ini diambil oleh panitia PBAK yang terdiri dari mahasiswa semester atas. Di satu sisi, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana panitia menetapkan prioritas mereka. Apakah mereka lebih mementingkan hiburan dan eksistensialis daripada kesejahteraan dan pengembangan intelektual mahasiswa baru? Apakah mereka tidak menyadari dampak dari keputusan ini terhadap mahasiswa yang mereka seharusnya layani?

Dosen pun menyatakan bahwa keputusan ini sepenuhnya berada di tangan panitia, seolah melepaskan tanggung jawab dari institusi yang lebih luas. Namun, institusi seperti IAIN Ponorogo seharusnya memiliki kontrol dan pengawasan terhadap setiap keputusan yang dapat berdampak signifikan terhadap mahasiswa, terutama dalam acara sebesar PBAK.

Represifitas dan Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

Ketika beberapa mahasiswa mencoba menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui demonstrasi, mereka dihadapkan dengan tindakan represif dari birokrasi kampus. Mereka dianggap sebagai biang kerok kericuhan dan dihadapkan dengan stigma negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kampus, yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya kebebasan berpendapat dan nalar kritis, justru menjadi tempat di mana kebebasan tersebut dihadang dan dibungkam.

Represifitas semacam ini adalah cerminan dari ketakutan terhadap perubahan dan kritik. Kampus seolah-olah lebih memilih untuk mempertahankan status quo daripada mendengarkan suara-suara yang menuntut perbaikan. Ini bukan hanya pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, tetapi juga pembunuhan karakter mahasiswa sebagai akademis-intelektualis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun