"Maka, orang Indonesia tidak perlu melakukan perjalanan ke Suriah untuk menjadi bagian dari gerakan Islam; mereka dapat bergabung dengan salah satu partai politik Islam di negara itu dan bersaing menjadi kandidat dalam pemilu."
Kekerasan kelompok ISIS terus membuat panik masyarakat di seluruh dunia, tetapi serangan baru-baru ini di pusat kota Jakarta benar-benar menyingkap batas kekuatan ISIS. Aksi bom bunuh diri dan baku tembak dengan militan yang terkait dengan kelompok teror telah menewaskan beberapa warga sipil dan melukai belasan lainnya.
Namun, ada satu poin penting yang bisa diambil yakni meskipun melakukan gerakan dengan intensif, ISIS nyatanya belum mampu untuk mendapatkan pengaruh politik atau sosial yang cukup besar di negara Muslim terbesar di dunia itu.
Ahli terorisme dan para pejabat AS telah lama khawatir tentang potensi ISIS untuk melakukan serangan di Indonesia. Menurut laporan, 300 orang Indonesia telah melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk bergabung dengan kelompok ISIS. Hal ini lebih mengkhawatirkan lagi mengingat kondisi di Indonesia dimana angka kemiskinan dan tingkat korupsi masih tinggi. Faktor tersebut bisa memicu perekrutan untuk menjadi gerilyawan dan front baru dalam rangka melawan ISIS.
Namun ternyata potensi tersebut belum terealisasi. Walaupun bergabungnya beberapa masyarakat Indoensia ke kelompok ISIS menjadi perhatian bersama, jumlah yang bergabung dari Indonesia masih kecil dibandingkan dengan mereka yang berasal dari negara-negara mayoritas Muslim lainnya seperti Yordania, Arab Saudi dan Tunisia. Bahkan, lebih banyak pejuang ISIS diperkirakan berasal dari Belgia dan Perancis daripada dari Indonesia. Jumlah ini sebenarnya lebih kecil secara proporsional mengingat populasi Indonesia lebih dari 250 juta jiwa.
Faktor Demokrasi di Indonesia
Mengapa ISIS gagal untuk memberi pengaruh besar di Indonesia? Faktor utama adalah bahwa tidak seperti Yordania, Arab Saudi dan Tunisia, Indonesia memiliki pemerintahan yang inklusif dan representatif, ditambah kepolisian dan keamanan yang cukup efektif, serta ekonomi yang cukup berkembang selama beberapa dekade terakhir.
Maka, orang Indonesia tidak perlu melakukan perjalanan ke Suriah untuk menjadi bagian dari gerakan Islam; mereka dapat bergabung dengan salah satu partai politik Islam di negara itu dan bersaing menjadi kandidat dalam pemilu.
Begitulah cara demokrasi bekerja. Indonesia memberikan bukti kuat bahwa jika Anda mengizinkan organisasi-organisasi Islam untuk berpartisipasi dalam proses politik, mereka akan memoderasi tuntutan mereka dan menjadi bagian dari sistem, alih alih berusaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Meskipun ada pengecualian, terutama kelompok-kelompok teroris yang sering memenuhi headline berita dramatis, namun merke sebenarnya memiliki sedikit pengaruh. Adapun tren secara keseluruhan terhadap moderasi adalah sangat jelas.
Ini berarti bahwa angka ketidakpuasan jauh lebih sedikit dibandingkan di negara-negara di mana pemuda Muslim memiliki sedikit kesempatan kerja atau sarana untuk mengekspresikan pilihan politiknya. Orang Indonesia umumnya bangga terhadap negara mereka dan mempunyai prestasi yang cukup besar, termasuk demokratisasi pada momen Reformasi tahun 1998.
Reaksi masyarakat Indonesia atas serangan bom Thamrin pada bulan ini begitu cepat di media sosial, di mana tagar #KamiTidakTakut dengan cepat menjadi trending topic di Twitter.
Peran NU dan Muhammadiyah
Alasan utama lainnya untuk kelemahan ISIS di Indonesia adalah peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Tercatat hingga 75% dari Muslim Indonesia merupakan anggota dari dua ormas besar tersebut. Â Baik NU maupun Muhammadiyah terkenal teguh dalam upaya mereka untuk menentang keberadaan ISIS dan terorisme.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah memposisikan diri sebagai pendukung kuat demokrasi, dan bersikap toleran terhadap agama minoritas di Indonesia, dan membantu untuk menyalurkan keinginan pemuda Muslim dalam perubahan sosial dan politik dalam kegiatan produktif, seperti pendidikan dan pengorganisasian gerakan sosial.
Indonesia Model Bagi Negara Lain dalam Melawan ISIS
Apakah Indonesia menawarkan pelajaran untuk melawan ISIS bagi negara lain, atau itu kasus yang unik?
Ada beberapa perbedaan budaya utama antara Indonesia dan negara-negara mayoritas Muslim di Timur Tengah. Sebelum kedatangan Islam, ada Hindu dan Budha merupakan agama resmi kerajaan di pulau Jawa, dan warisan mereka tetap menjadi bagian dari budaya Indonesia.
Hari ini, keragaman agama, etnis dan bahasa masyarakat Indonesia tak tertandingi. Ada lebih dari 300 kelompok etnis, lebih dari 700 bahasa dan berbagai daerah dengan mayoritas non-Muslim, termasuk Hindu di Bali. Pengakuan dari keragaman ini selalu menjadi komponen identitas nasional Indonesia, dan Konstitusi menjamin kebebasan beragama.
Namun dalam beberapa hal penting, Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan banyak negara Timur Tengah: tingginya tingkat kemiskinan, cadangan sumber daya alam yang besar, tingginya tingkat korupsi, rendahnya tingkat pendidikan, sejarah konflik bersenjata dan vokalnya gerakan Islamis. Bila melihat posisinya di kawasan. Indonesia hampir tidak berada di lingkungan yang demokratis, mengingat bahwa Malaysia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand dan Laos masih dipimpin oleh rezim otoriter.
Bagi para pembuat kebijakan AS, poin penting yang bisa diambil dari serangan bom Thamrin Jakarta baru-baru ini adalah: ISIS adalah ancaman bagi warga sipil, dan polisi harus terus memantau mereka yang bergabung. Tapi Indonesia tidak dalam bahaya potensi menjadi Irak atau Suriah kedua. Karenanya, hal ini tidak akan menjadikan Indonesia bagian dari apa yang disebut kekhalifahan.
Bahkan, Indonesia memberikan pelajaran penting bahwa cara terbaik untuk meminimalkan dampak dari ISIS adalah bukan melalui aksi militer atau polisi, melainkan melalui strategi jangka panjang integrasi melalui lembaga-lembaga politik, pertumbuhan ekonomi dan organisasi masyarakat sipil yang signifikan.
------------------------------------
*Diterjemahkan dari Usatoday, 20 januari 2016, oleh: Jeremy Menchik - asisten profesor di School of Global Studies di Boston University.
Artikel juga dapat diakses di: Duniatimteng.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H