Mohon tunggu...
Muhammad Zaiyani
Muhammad Zaiyani Mohon Tunggu... Arsitek - Arsitek

Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sesat Pikir Najwa Shihab

18 Agustus 2021   08:42 Diperbarui: 18 Agustus 2021   08:52 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat Malam, Selamat Datang di Mata Najwa, Saya Najwa Shihab tuan rumah Mata Najwa. Anda wajar kecewa, jengkel, dan marah kepada para pelaku korupsi dana bantuan sosial. Tapi kekecewaan, kejengkelan, dan kemarahan itu tidak membuat para penegak hukum kita lebih serius menghukumnya. Yang terjadi malah pesta discount para pelaku korupsi ditengah pandemi. Mantan Menteri Sosial Juliani Batubara dituntut hanya 11 tahun penjara, untuk korupsi dana bantuan sosial oleh jaksa dari KPK, lembaga yang pernah koar-koar soal hukuman mati bagi para koruptor ditengah pandemi. Dalam waktu berdekatan pengadilan men-discount hukuman untuk mantan Jaksa Pinangki dan buronan Joko Chandra ditingkat banding . Gebyar discount hukuman untuk para koruptor terjadi ditengah pandemi. Inilah yang dipertontonkan didepan publik saat rakyat biasa harus menghadapi kriminalisasi, kekerasan, dan hukuman yang tidak masuk akal, pertanyaan saya dan mungkin juga pertanyaan anda mengapa hukum masih juga tumpul kepada para elit, mengapa para penegak hukum kita tak juga peka bahkan ketika semua sedang kesusahan?  Inilah mata najwa, "Keadilan bersyarat bagi seluruh rakyat Indonesia" demikian judul utama acara Mata Najwa dalam Narasi TV dimana Najwa Shihab sebagai tuan rumahnya (host).  Acara ini selanjutnya berlangsung dalam 7 bagian yaitu : Jaksa Pinangki Korupsi Tapi Koq Masih digaji (Part 1); Trenyuh! Ibu Bawa Bayi ke Penjara karena Masih Menyusui (Part 2); Ironi Rakyat Kecil di Hadapan Hukum (Part 3); Dibalik Tuntutan Ringan untuk Juliani Batubara (Part-4); Warga Gugat Ganti Rugi Bansos: Ini Hak Kami (Part 5); Koruptor Diistimewakan, Komitmen Presiden Dipertanyakan (Part 6); Rakyat Dipaksa Tak Waras Melihat Penegakan Hukum (Part 7)

Dalam beberapa bagian acara tersebut, terlihat jelas telah terjadi sesat pikir (logical fallacy) berupa proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan disebabkan karena pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Sesat pikir yang terjadi bisa jadi bukan tidak disengaja dalam rangka untuk membentuk opini pemirsa.

Tulisan ini selanjutnya akan membedah bahagin-bagian tertertu saja yang didalamnya terjadi logical fallacy (sesat berpikir), sehingga kita bisa menalar acara tersebut secara logic.

Part 1 dan 2

Selain seperti uraian pada paragraf 1, pada sesi ini Najwa Shihab melanjutkan dengan nyiyiran khas Mata Najwa: "Teman-teman, discount selalu diburu. Apalagi kalau nilainya fantastis sampai 60% siapa yang tidak tergiur?. Tapi apa jadinya jika yang yang didiscount adalah hukuman para koruptor?. Gemes ga? Gemes Ga? Sama', dan saya tidak sendirian. Berikut ini ungkapan hati warga dan netizen +62" demikian Najwa Shihab memulai acaranya sambil memperkenalkan Kurnia Ramadhan (peneliti ICW), Boyamin Saiman (Koordinator MAKI).

Ada 3 hal yang menjadi poin yang disampaikan Najwa pada acara ini yaitu (1) Hukuman ringan Jaksa Pinangki dalam kasus Joko Chandra; (2) Hukuman ringan buronan 11 tahun Joko Chandra; dan (3) Tuntutan ringan mantan Menteri Sosial Juliani Batubara dalam kasus Bansos, namun untuk lebih semarak lagi, ditambah oleh Kurnia Ramadhan (4) Mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo yang dituntut dan divonis hanya 5 tahun.

Pada akhir dari sesi ini, sampai pada kesimpulan bahwa tuntutan dan vonis pada keempat kasus tersebut di atas adalah terlalu rendah, menghina rasa keadilan, melukai hati para korban (penerima bansos).

Selanjutnya Tim Mata Najwa menghadirkan Ibu Isma yang divonis 3 bulan dan masuk LP bersama bayinya yang berusia 3 bulan karena masih menyusui, untuk dibandingkan dengan hukuman Jaksa Pinangki yang divonis 4 tahun pada tingkat banding (padahal sebelumnya pada tingkat pertama vonisnya 10 tahun), karena salah satu pertimbangan hakim tingkat banding adalah karena Jaksa Pinangki mempunyai anak kecil. Bahwa Ibu Isma kemudian dibebaskan setelah 2 minggu karena mendapat asimilasi, tidak dipertegas dalam pembahasan ini karena akan melemahkan premis-premis yang telah dibangun sebelumnya.

Poin yang mau disampaikan oleh Najwa Shihab adalah : Kenapa Jaksa Pinangki dihukum menjadi hanya 4 tahun karena pertimbangan punya anak kecil, sementara Ibu Isma dihukum 2 minggu padahal dia juga punya bayi yang masih menyusui? Dengan berbagai argumen Najwa menyampaikan bahwa hukuman 4 tahun bagi Pinangki adalah ringan  (di-discount kata Najwa), sementara hukuman 3 bulan yang kemudian bebas dalam 2 minggu bagi Isma dalah berat karena dia punya bayi yang masih menyusui. Untuk mendukung argumentasi ini selanjutnya gambar-gambar bayi Ibu Isma waktu dalam tahanan juga ditayangkan.

Najwa dengan dibantu dua narasumber-nya kemudiaan menjawab sendiri premis di atas dengan membuat framing bahwa ini terjadi karena Ibu Isma adalah orang kecil, miskin, tidak punya akses pada kekuasaan, sementara Jaksa Pinangki diperlakukan istimewa karena kaya dan punya akses pada kekuasaan. Selanjutnya disimpulkan bahwa demikianlah potret penegakan hukum di Indonesia, tumpul ke atas dan tajam kebawah. Apa istimewanya Jaksa Pinangki dengan hukuman itu (dibandingkan dengan ke-tidak-istimewanya Bu Isma)? Seandainya Jaksa Pinangki punya bayi seumur Ibu Isma, hampir pasti si-bayi ikut juga masuk bui untuk menyusui ibunya, dan sebaliknya bila Ibu Isma punya anak yang seumur anak Jaksa Pinangki, pastilah tidak akan ikut masuk bui, karena sudah tidak menyusu pada ibunya.

Apple to lemonade, demikian perbandingan antara kasus Pinangki dan Ibu Isma. Najwa dkk membandingkan sesuatu yang tidak setara/ perkara berbeda (Jaksa Pinangki perkara Korupsi dan Ibu Isma Perkara UU ITE).

Dalam mengambil keputusan hukum, hakim mempunyai justifikasi masing-masing terhadap perkara yang dihadapinya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan hati nurani. Di Indonesia sudah ditetapkan setiap putusan pengadilan didahului kalimat  "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Putusan hakim ditingkat apapun harus dimaknai sebagai keputusan yang benar dan adil. Dengan demikian putusan perkara Jaksa Pinangki dan putusan Ibu Isma adalah benar dan adil pada perkaranya masing-masing. Tidak relevan dibandingkan satu dengan yang lainnya.

Part 3, 4, dan 5

Framing rakyat kecil mendapat hukum yang berat berlanjut pada bagian ke-3. Ibu Hardianti  Penjual Pisang Epe di Makassar Ibu tiga anak yang masih kecil, single parent, diganjar 5 tahun karena kasus mengantar mengantar narkotika (shabu) kepada pecandu (sementara sang bandar belum tertangkap) dibandingkan dengan vonis Edhy Prabowo yang juga 5 tahun pada kasus korupsi 25 M.  Dalam sesi ini, Najwa Shihab menghadirkan (online) Ibu Hardianti (Nenek Hasmia) dan kuasa hukum Tri Ariadi Rahmat. Kembali lagi terjadi sesat pikir disini karena membanding sesuatu yang tidak setara (lagi).

Dalam kasus Ibu Hardianti, penetapan hukuman 5 tahun oleh hakim bukan karena Ibu Hardianti penjual pisang epe', melainkan karena berat tidaknya keterlibatan Ibu Hardianti dalam perkara narkoba tersebut. Sama dengan penetapan hukuman 5 tahun bagi Edhy Prabowo, bukan diringankan (di-discount kata Najwa) karena dia pejabat, melainkan karena kadar keterlibatan dia dalam perkara tersebut. Seandainya (jika bisa berandai-andai) Ibu Hardianti dan Edhy Prabowo bisa tukar-peran (Ibu Hardianti menggantikan peran Edhy Prabowo, dan sebaliknya), maka keputusan kurang lebih akan sama.

Pada bahagian lain, dibahas pula perkara Juliari Batubara yang (hanya) dituntut 11 tahun, padahal tuntutan menurut pengacara Maqdir Ismail didasarkan pada fakta persidangan; serta gugatan 16,2 juta rupiah Eny Rochayati kepada negara yang ditolak Pengadilan, karena kesalahan beracara.

Sesat pikir yang terjadi adalah menyalahkan keputusan pengadilan yang menolak gugatan Eny Rochayati, yang didramatisir bahwa orang kecil tidak berhak mencari keadilan. Tidakkah Najwa dan narasumber tau bahwa pengadilan menolah gugatan itu karena salah beracara (salah administrasi), belum masuk ke substansi. Dengan demikian bisa diajukan kembali setelah membetulkan administrasi.

Sesat pikir Najwa selanjutnya adalah meminta Eny Rochayati (penggugat dana bansos) untuk menilai kepantasan terhadap tuntutan 11 tahun penjara bagi Juliani Batubara, yang sudah bisa dipastikan jawabannya, bahwa tuntutan itu tidak pantas. Najwa menanyakan sesuatu pada orang yang tidak punya kapasitas dan kapabilitas, tiada lain untuk mendukung premis-premis sebelumnya.

Part 6 dan 7

Pada bahagian 6, Najwa Shihab menghadirkan Dini Shanti Purwono, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum untuk menanyakan komitmen presiden terhadap penegakan hukum ini. Sesat berpikir yang terjadi disini adalah Najwa menanyakan sesuatu bukan pada tempatnya (= membeli apple pada toko buah lemonade). Seharusnya masalah ini ditanyakan kepada lembaga Yudikatif, bukan pada lembaga Eksekutif (Presiden). Terbukti dari jawaban Dini Purwono, menjelaskan teori dasar trias-politica, sebuah teori yang menerapkan pembagian kekuasaan pemerintahan negara.

"Presiden bukan Super Hero" kata Dini. Statement ini bisa diartikan bahwa kekuasaan presiden tidak absolut. Presiden (lembaga Eksekutif) tidak bisa mengintervensi lembaga Yudikatif dan lembaga Legislatif. Najwa dan nara sumber tentu tidak lupa teori Montesquieu ini karena mereka adalah seorang yang berlatar pendidikan hukum. Sesat pikir yang bukan tidak disengaja ini tiada lain untuk membentuk opini "Keadilan bersyarat bagi seluruh rakyat Indonesia"

Seharusnya dalam acara tersebut, Najwa Shihab menghadirkan Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung, sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti : "Kenapa kejaksaan tidak kasasi putusan Pinangki?; Kenapa Edhy Prabowo dituntut dan dihukum ringan?; Kenapa hukuman koruptor di-discount?; Kenapa ibu menyusui dan ibu penjual pisang epe' dihukum berat? dan pertanyaan-pertanyaan lain.

Kesimpulan

Bahwa membandingkan keputusan hakim perkara korupsi dengan keputusan hakim perkara narkoba (atau melanggar UU ITE), sama seperti kita membandingkan rasa dari nasi kuning yang dimasak oleh Mukidi, dan nasi goreng yang dimasak oleh Markonah. Membandingkan sesuatu seyogyanya harus mencari dulu kesamaan di antara keduanya. Selain harus membanding sesama nasi kuning, nasi kuning tersebut harus memiliki bahan dasar, dapur yang sama,  waktu masak yang sama, dan lain-lain, untuk mendapatkan kesimpulan yang benar, misalnya nasi kuning Markonah lebih enak dari nasi kuning Mukidi. Membandingkan hal yang tidak setara adalah bentuk sesat berpikir (logical fallacy). Silogisme (menyamakan, mengukur, atau membandingkan) sesuatu yang tidak setara pada akhir sampai pada kesimpulan yang salah.

Bahwa logical fallacy bisa terjadi bukan karena tidak disengaja, melainkan sesuatu yang direncanakan dalam upaya untuk membangun/ membentuk suatu opini tertentu.

Wallahu'alam bishawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun