Mohon tunggu...
Muhammad Zahran Nauvalliado
Muhammad Zahran Nauvalliado Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Apapun dibahas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi pada Masa Reformasi dan Tinjauan EKonomi Politiknya

24 Desember 2022   13:56 Diperbarui: 24 Desember 2022   13:56 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, kiprah KPK sebagai lembaga independen yang telah mengurusi banyak problematika per-korupsi-an di Indonesia seakan-akan dihentikan langkahnya oleh pemerintah. Pada tahun 2019, tepatnya di bulan september muncul perubahan undang-undang KPK yang dicetuskan oleh DPR dan menjadi perhatian yang masif di berbagai belahan wilayah di Indonesia. Revisi ini dibuat dengan tujuan memperkuat KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi, namun isi dari revisi-revisi yang dipaparkan malah terkesan lebih kepada pelemahan program-program kerja KPK. Rocky Gerung dalam wawancaranya dengan Cnn Indonesia mengatakan bahwa KPK merupakan peralatan presiden untuk memberantas korupsi karena dua alat lainnya tidak berfungsi dengan benar. Namun apa yang terjadi, peralatan tersebut dikurangi kemampuannya dalam menjalankan tugasnya. Presiden nampak tidak mengetahui dan mengerti konsep dasar independensi KPK.

Reformasi KPK yang digadangkan oleh pemerintah, seakan tidak sejalan dengan arti reformasi itu sendiri, yakni sebuah perubahan besar demi memperbaiki salah satu bidang pemerintahan di suatu negara. Efek dari revisi ini pun tidak main-main, sampai kepada prinsip dasar KPK pun diubah oleh pemerintah. Ada beberapa poin yang dapat kita lihat sebagai perbandingan antara peraturan KPK sebelum dan sesudah adanya revisi, Contohnya ialah prinsip dasar KPK yang menyebutkan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc independen dan bukan bagian dari pemerintah, diubah menjadi KPK merupakan lembaga bagian dari pemerintah dan tidak lagi berjalan independen. Sistem kontrol yang selama ini dilakukan oleh internal KPK secara kolektif kolegial pun diubah menjadi diawasi oleh Dewan Pengawas. Bayangkan saja, dewan pengawas tersebut berisikan DPR, pemerintah, juga masyarakat. Di saat ada kasus yang menjerat seorang anggota DPR, ada kemungkinan tidak akan dilanjutkan oleh dewan pengawas karena kekuasaan KPK yang disempitkan daripada dewan pengawas itu sendiri. Dewan pengawas ini juga menjadi penentu gerak KPK dalam melakukan tugas-tugas dasar layaknya penyelidikan. Bahkan penyadapan, yang menjadi ciri khas KPK harus izin terlebih dahulu kepada dewan pengawas dari yang sebelumnya hanya memohon izin kepada pimpinan KPK. Dan masih banyak lagi kontroversi-kontroversi yang menjadi perhatian masyarakat mengenai revisi ini.

Dampak dari pelemahan KPK ini pun sudah terasa akhir-akhir ini, mulai dari berkurangnya vonis terdakwa, hingga aset recovery yang gagal total. ICW menilai bahwa DPR dan pemerintah dalam pembuatan peraturan, seakan tidak mementingkan urgensi hukuman maksimal terhadap koruptor. Pencegahan korupsi yang digaungkan oleh pemerintah dicounter oleh perbuatan mereka sendiri dengan bekerja tidak optimal dalam pemberantasan korupsi. Manusia secara psikologis jika tidak dihukum berat, maka hasrat untuk mengulang perbuatan buruknya tetap ada dan makin membara. Jika para pelaku Korupsi di Indonesia tidak dihukum berat, maka korupsi dapat dipastikan akan dilestarikan oleh tangan-tangan kotor pejabat tanpa memikirkan dampaknya.

Dengan adanya pelemahan KPK yang dilakukan oleh pemerintah, tidak lepas pula dampaknya kepada perekonomian di Indonesia. Secara umum, korupsi jelas merugikan negara dengan nominal uang yang tidak sedikit tentunya. Namun, di sisi ia merugikan negara, ia juga membuat perekonomian di dalam masyarakat kacau. Seperti misalkan korupsi berdampak pada inefisiensi yang menyebabkan tingginya biaya ekonomi. Hal ini akhirnya dilimpahkan juga dibebankan kepada konsumen, juga terjadinya eksploitasi serta ketidak adilan distribusi. 

Adapun dari sisi penanaman modal, para investor, baik itu lokal maupun luar, dapat dipastikan tidak akan mau berinvestasi di sebuah negara dengan indeks korupsi yang tinggi. Ketidakstabilan ekonomi menjadi sebuah dilema terhadap investor apakah modal yang ditanamnya akan kembali atau tidak. Korupsi pun mengakibatkan suatu stagnasi dalam ekonomi sampai kepada angka kemiskinan yang meningkat. Bagaimana tidak, dengan adanya praktik korupsi bantuan pendanaan untuk masyarakat kecil seperti petani, usaha mikro, ataupun koperasi tidak akan pernah disalurkan kepada rakyat. Walaupun tersalurkan, nominalnya sudah berkurang banyak dan habis di tangan para koruptor. Ini berarti menghambat pembangunan ekonomi rakyat yang digaungkan oleh pemerintah. Lalu dengan adanya praktik korupsi, akan terjadi peningkatan harga barang layaknya kebutuhan pokok ataupun sembako. Buruh pun akan ikut terkena dampaknya karena upah yang diberikan akan berkurang. Petani pun demikian.

Maka dari itu, Korupsi benar-benar berdampak kepada kondisi segala aspek di Indonesia, apakah itu perekonomian, perpolitikan, dan sebagainya. KPK yang secara prinsip dasarnya merupakan sebuah lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun, dilemahkan oleh pemerintah dengan dalih penguatan tubuh KPK. 

Di sini kita bisa melihat adanya relasi kuasa yang bermain-main menghancurkan kerangka KPK dengan tujuan menguntungkan satu pihak saja. Bagaimana tidak, pemilihan ketua KPK beberapa tahun yang lalu pun menuai kontroversi karena banyaknya kecacatan dalam proses rekrutmennya. Maka dapat dipastikan ada suatu kejanggalan yang dilakukan oleh para pelemah KPK. 

Pelemahan ini bahkan berdampak kepada indeks korupsi Indonesia yang makin lama presentasenya makin menurun. Kerja pemerintah dan DPR tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi kondisi perekonomian Indonesia. Kerugian pun tidak dapat dipungkiri. Di tahun 2022 pun, kerugian negara akibat korupsi mencapai nominal Rp. 33,665 triliun dengan 612 tersangka. Angka yang sangat masif jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dampak korupsi yang terjadi tidak hanya merugikan negara, namun masyarakat juga terkena dampaknya. Harga pangan yang naik, pemberian bantuan yang tersendat, hingga kemiskinan yang meningkat membuat masyarakat menganggap pemerintah seakan tidak bekerja dengan baik dan benar. Menjadi penyelenggara pemerintah merupakan amanat yang sangat besar dan berat bebannya. Bersungguh-sungguh dalam bekerja menyelenggarakan negara yang bersih dan sehat, memang berat, ada saja godaannya. Namun dari tantangan ini lah seseorang dapat dinilai kedewasaannya, kebijaksanaannya, juga hati nuraninya menghadapi godaan-godaan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun