Mohon tunggu...
Muhammad Zahran Nauvalliado
Muhammad Zahran Nauvalliado Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

Apapun dibahas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi pada Masa Reformasi dan Tinjauan EKonomi Politiknya

24 Desember 2022   13:56 Diperbarui: 24 Desember 2022   13:56 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi, sebuah kata yang sangat lumrah terdengar di masyarakat Indonesia saat ini. Sebuah kejahatan, bahkan sebuah tindakan yang tidak manusiawi yang berada di level luar biasa, di mana korupsi ini dianggap sebagai sebuah penyakit masyarakat yang dampak praktiknya dapat memperlambat pembangunan nasional, memperburuk pandangan internasional terhadap aparatur negara yang pada dasarnya harus bersih dan berwibawa, juga mengacuhkan moral serta merusak kualitas manusia dan lingkungannya. Korupsi ini pula berdampak kepada berjalannya proses demokrasi serta hak-hak sosial juga ekonomi masyarakat secara masif. Dalam aspek sosial, rakyat menjadi korban dari praktik busuk ini. Hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh rakyat, dirampas dengan licik oleh para pejabat yang tidak bertanggung-jawab. Praktik korupsi ini dalam praktiknya tidak selalu dilakukan secara individual, namun sebuah kelompok pun dapat melakukan hal keji tersebut.

Indonesia, walaupun dikenal sebagai negara yang berasaskan hukum, tidak lepas dari praktik-praktik korupsi. Ironisnya, praktik korupsi ini telah terjadi ribuan kali secara sistematis, di level manapun, dan bertendensi meluas dilakukan oleh pejabat pemerintahan ataupun non-pemerintah. Maka tidaklah aneh jika banyak masyarakat beranggapan bahwa fenomena korupsi sudah menjadi budaya yang melekat di pemerintahan Indonesia. Ironis, menyedihkan, juga mengecewakan. Semenjak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pemberantasan korupsi sudah diupayakan oleh pemerintah dengan berbagai cara. Tiap pergantian presiden, dipastikan ada program baru untuk menghilangkan korupsi dari tanah air ini. Namun, program-program yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia tiap era nya terasa tidak terlalu efektif karena kasus korupsi dapat dipastikan ada setiap tahunnya. Terutama era pasca reformasi.

Pada era pasca reformasi ini, tercatat telah terjadi banyak kali kasus korupsi, mulai dari nominal yang kecil sampai triliunan. Para koruptor yang melakukan praktik korupsi semakin hari terlihat semakin tidak memiliki hati nurani. Peraturan pemberantasan korupsi pun tidak selalu membuahkan hasil yang baik. Dinamikanya sangatlah terasa, ada saat di mana peraturan berpengaruh dengan sangat dan ada juga waktu di mana peraturan dinilai melemah. KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi tidak selalu berada dalam kondisi bisa melakukan tugasnya kendati lembaga tersebut memiliki kewenangan yang sangat kuat. Bahkan di tahun 2019 yang lalu, terjadi Revisi Undang-undang KPK yang dinilai dapat melemahkan praktik pemberantasan korupsi di Indonesia. Lalu, pertanyaan pun muncul di benak masyarakat, Bagaimana korupsi berdampak pada kondisi perekonomian negara ini? Lalu bagaimana kaitannya dengan kondisi perpolitikan di Indonesia? Apakah dampak yang dirasakan oleh masyarakat setelah praktik korupsi terjadi? Lalu apakah KPK sebagai lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi di Indonesia sudah tidak memiliki integritas dan kemampuan dalam melaksanakan tugasnya setelah adanya revisi undang-undang?

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui dan memahami apa itu korupsi secara mendasar. Korupsi berasalkan dari kata latin yaitu corruptio atau corruptus. Kata tersebut memiliki banyak arti, di antaranya yakni kerusakan, ketidakjujuran, dapat disuap, dan lain sebagainya. Dalam kamus Webster's Third New International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai suatu ajakan seseorang yang berafiliasi dengan politik dengan pertimbangan yang tidak seharusnya dilakukan untuk melakukan sebuah pelanggaran tugas.

Korupsi merupakan hal masif yang dilakukan, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh penjuru dunia pun tidaklah asing dengan istilah ini. Maka dari itu definisi korupsi dari setiap negara dapat dipastikan berbeda. Dalam bukunya "Corruption and the Disting of Asia" (1975), Syed Hussein Alatas berpendapat bahwa kegiatan-kegiatan yang dapat diindikasikan sebagai praktik korupsi ialah suap, peras, nepotisme, serta pemanfaatan jabatan dengan cara yang salah demi kebutuhan pribadi. Menurut Hussein Alatas bukti nyata bahwa perbuatan seseorang melakukan praktik korupsi, jika berkaitan dengan beberapa indikator, yakni:

  • korupsi yang melibatkan lebih dari satu individu,
  • Korupsi yang dilakukan dengan asas tertutup (rahasia),
  • Korupsi bersifat saling menguntungkan dan berkewajiban
  • Pelaku praktik korupsi mengendapendap di balik pembenaran hukum
  • Pelaku korupsi memiliki tujuan dari secuil keputusan dan dapat mempengaruhi
  • Praktik korupsi menjadi sebuah penipuan di publik atau masyarakat
  • Praktik korupsi menjadi pengkhianatan kepercayaan
  • Satu praktik korupsi berkaitan dengan adanya fungsi ganda yang bersifat kontradiksi dari tindakan pelaku
  • Praktik korupsi melanggar peraturan tugas dan tanggung jawab di dalam masyarakat.

Robert klitgaard dalam bukunya "Controlando la Corrupcion" (1988) berpendapat bahwa korupsi merupakan sebuah tindakan menyimpang dari tugas-tugas yang diberikan secara resmi dari sebuah jabatan negara dikarenakan adanya sebuah keuntungan dalam aspek status ataupun berkaitan dengan uang pribadi, bahkan melanggar norma-norma pelaksanaan beberapa perilaku pribadi. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa definisi korupsi dikerucutkan kepada perilaku pejabat publik atau negara yang secara langsung menggunakan jabatannya dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi. Menurutnya, kata "politik" merupakan akar dari serangkaian gambaran kejam yang diartikan sebagai apa saja yang dapat merusak keutuhan segala aspek. Maka dari itu, korupsi jika dirunut secara historis merujuk kepada perilaku politik.

Dalam kacamata pengamat Indonesia Sam Santoso dalam Bukunya "The Arts of Corruption" (2003, 14), ia berpendapat bahwa korupsi merupakan suatu tindakan lain dari pencurian secara umum. Tindakan ini adalah perwujudan yang menyimpang dari sebuah perilaku tugas resmi suatu jabatan secara disengaja dalam mencapai sebuah keuntungan. Keuntungan di sini merujuk kepada status, harta atau kekayaan (uang) untuk perseorangan, keluarga ataupun kelompok. Secara realistis, menjadi seseorang yang mempunyai jabatan mahal biayanya, dan hal ini dianggap menjadi sebuah keharusan oleh pelaku. Maka dari itu setelah pelaku mendapatkan suatu jabatan, ada hasrat dan berfikir bahwa ia memiliki hak untuk melakukan praktik korupsi.

Dari penjelasan Sam Santoso, koruptor mempunyai banyak cara agar terlaksananya sebuah praktik korupsi. Namun dari semua cara yang dapat dilakukan, berakhir dengan sebuah tujuan mutlak, yaitu pelaku ingin merasakan kehidupan ber-uang atau mewah dalam jarak waktu yang cepat ataupun melalui Shortcut.

Dari ketiga pandangan sebelumnya, dapat dipantau bahwa korupsi memiliki fokus tersendiri dari sebuah negara. Kendati semuanya memiliki fokus masing-masing, tetapi korupsi sama-sama dipandang sebagai sebuah praktik merugikan negara demi tercapainya kebutuhan pribadi, apakah itu kebutuhan keluarga ataupun demi tercapainya sebuah kondisi kekayaan dalam waktu yang sangat singkat dengan melalui jalan pintas. Korupsi dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merugikan masyarakat banyak

Kembali lagi ke dalam konteks Indonesia yang berasaskan hukum, perkembangan undang-undang tentang praktik korupsi tentu tidak akan terlupakan. Langkah-langkah pemberantasan telah diinisiasikan semenjak kemerdekaan Indonesia terjadi di tahun 1945. Setiap Pemerintahan memiliki caranya masing-masing dalam rangka memberantas praktik kotor ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dasar-dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hukum ini menjadi sebuah pedoman dan landasan dalam rangka korupsi untuk dicegah ataupun ditindak oleh yang berkewajiban melakukannnya. Dasar-dasar hukum ini pula menjadi sebuah bukti konkret dan tertulis bahwa pemerintah Indonesia menganggap serius pemberantasan korupsi yang dilakukan. Seiring berjalannya waktu, undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan agar dapat dipakai sesuai dengan situasi ekonomi politik ter-anyar. Peran masyarakat juga dianggap sebagai agen pembantu pemerintah untuk dapat mendeteksi juga melaporkan praktik-praktik yang terindikasi sebagai sebuah korupsi. Ada sekitar 10 dasar hukum pemberantasan korupsi di Indonesia, yakni:

  • Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas KKN
  • Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN
  • Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
  • Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000
  • Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian Uang
  • Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi
  • Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang pelaksanaan supervisi pemberantasan tindak pidana korupsi
  • Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 33 Tahun 2019 tentang kewajiban penyelenggaraan pendidikan anti korupsi (PAK) di perguruan tinggi.

Negara hukum adalah negara yang segala kegiatan kenegaraannya harus berdasarkan hukum yang berlaku. Hukum tidak serta merta menjadi sebuah pajangan belaka yang hanya menghiasi dinding bangunan pemerintahan. Namun hukum haruslah menjadi tonggak, pedoman, ataupun jalan hidupnya suatu pemerintahan di dalam suatu negara. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat sekitar 10 dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Terkhusus untuk lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, berdasarkan Undang-undang nomor 30 tahun 2002 diperkenalkanlah sebuah lembang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang melaksanakan tugas dan wewenangnya secara independen serta tidak terkait dari pengaruh kekuasaan manapun. Dengan tugas dan wewenangnya ini, maka dapat dikatakan KPK dianggap sebagai ujung tombak atau last hope pelaksanaan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sesuai dengan visinya yaitu "mewujudkan Indonesia yang bebas Korupsi", juga misinya yakni "Penggerak Perubahan Untuk Mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi", diharapkan KPK dapat mengubah budaya korupsi di Indonesia agar lenyap tak bersisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun