Orang désa bisa menjalin interaksi dengan sesama orang desa di pulau lain. Karena sama-sama orang desa, selera pun nyaris sama. Para influencer dari pelosok Nusantara menyajikan sesuatu yang "relate" dengan kehidupan saudaranya yang terpisah jarak ratusan kilometer.
Orang kota masih setia dengan kehebohannya sendiri. Tidak sadar jika kami tidak mengikuti tren yang telah mereka reka. Apa yang terjadi di sana, bukan lagi urusan kami. Toh, kini kami memiliki kesenangan sendiri.Â
Andaikan tayangan menangkap belut di sawah bisa menjadi hiburan, kenapa pula harus disuguhi liputan tentang festival musik mancanegara. Seumur hidup warga desa tidak akan menikmatinya. Terlampau jauh dari jangkauan; baik jangkauan mental maupun jangkauan finansial.
Terlebih, perkara yang lebih serius. Misalnya, pendidikan.
Pengamat di media massa bercerita betapa hebatnya sistem pendidikan di Finlandia. Ramai-ramai ingin mengubah kurikulum agar sesuai dengan tren global dan kebutuhan industri. Waktu, tenaga, dan biaya pun dikerahkan demi perubahan.
Orang désa malah mempertanyakan, "buat apa? Kita di sini baik-baik saja." Itu hanya kekhawatiran warga Ibu Kota.Â
Dahulu, media massa bisa mengabarkan betapa panas perang di Timur Tengah. Pemirsa tidak bisa memilih. Hari ini, Anda berhak untuk menyatakan "tidak suka" maka linimasa tidak akan dihiasi oleh peristiwa serupa.Â
Anda pun bisa lupa jika dunia sedang tidak baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H