Berselancar di internet saya analogikan seperti memancing di lautan. Di sana, banyaknya ikan sama seperti banyaknya informasi di dunia maya. Kita tinggal melempar kail maka informasi apa pun yang kita inginkan tersedia di sana.
Namun, pandangan saya berbeda. Kini analogi itu berubah. Berselancar di internet seperti memancing di kolam. Pemancing tidak harus berpindah kolam jika merasa nyaman memancing di satu kolam.
Padahal, banyak kolam yang tersedia di pemancingan. Kalau Anda lebih suka kolam berisi ikan gurami, ya wajar jika enggan pindah ke kolam berisi ikan mujair.
Begitupula ketika terhubung dengan internet. Pengguna tidak serta merta akan menerima arus informasi yang serupa.
Â
Agaknya, istilah globalisasi karena adanya jaringan internet tidaklah selalu tepat. Adanya internét malah menjadi kanalisasi.
Orang dengan kesukaan yang sama akan membuat komunitas tersendiri. Mereka tidak terhubung dengan komunitas lain. Makanya, media sosial digandrungi banyak orang karena bisa membentuk komunitas daring bersama orang-orang yang memiliki "frékuénsi" yang sama.
Komunitas lokal memang bisa lebur, namun bukan berarti berganti menjadi komunitas global.
Anda penyuka kegiatan memelihara hewan, internet bisa menghubungkan dengan orang-orang yang sama. Tentu Anda tidak usah bersinggungan dengan penyuka sejarah masa penjajahan. Jari kita punya hak untuk menentukan siapa saja orang yang ingin dihubungi.
Orang désa bisa menjalin interaksi dengan sesama orang desa di pulau lain. Karena sama-sama orang desa, selera pun nyaris sama. Para influencer dari pelosok Nusantara menyajikan sesuatu yang "relate" dengan kehidupan saudaranya yang terpisah jarak ratusan kilometer.
Orang kota masih setia dengan kehebohannya sendiri. Tidak sadar jika kami tidak mengikuti tren yang telah mereka reka. Apa yang terjadi di sana, bukan lagi urusan kami. Toh, kini kami memiliki kesenangan sendiri.Â
Andaikan tayangan menangkap belut di sawah bisa menjadi hiburan, kenapa pula harus disuguhi liputan tentang festival musik mancanegara. Seumur hidup warga desa tidak akan menikmatinya. Terlampau jauh dari jangkauan; baik jangkauan mental maupun jangkauan finansial.
Terlebih, perkara yang lebih serius. Misalnya, pendidikan.
Pengamat di media massa bercerita betapa hebatnya sistem pendidikan di Finlandia. Ramai-ramai ingin mengubah kurikulum agar sesuai dengan tren global dan kebutuhan industri. Waktu, tenaga, dan biaya pun dikerahkan demi perubahan.
Orang désa malah mempertanyakan, "buat apa? Kita di sini baik-baik saja." Itu hanya kekhawatiran warga Ibu Kota.Â
Dahulu, media massa bisa mengabarkan betapa panas perang di Timur Tengah. Pemirsa tidak bisa memilih. Hari ini, Anda berhak untuk menyatakan "tidak suka" maka linimasa tidak akan dihiasi oleh peristiwa serupa.Â
Anda pun bisa lupa jika dunia sedang tidak baik-baik saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI