Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Anak Tidak Harus Membanggakan Orang Tua

8 Juli 2024   20:46 Diperbarui: 8 Juli 2024   20:49 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Mikhail Nilev dalam pexels.com

Apakah kalian pernah merasakan menyesal tidak pernah membanggakan orang tua kalian?

Pertanyaan demikian saya baca di media sosial. Tidak langsung memperoleh jawaban dari pertanyaan tersebut namun malah kembali bertanya-tanya. Apakah membanggakan orang tua memang suatu keharusan sehingga ada rasa penyesalan?

Saya malah tidak terpikir untuk membanggakan orang tua. Bahkan, baru tahu jika banyak orang yang berusaha untuk membanggakan orang tuanya.

Katanya, sejak mereka masih anak-anak membanggakan orang tua menjadi prioritas. Apa yang mereka lakukan semata untuk membuat orang tua bangga. Punya prestasi di sekolah, jadi juara pada ajang olahraga, ternyata demi membanggakan orang tua.

Ketika hasil ujian di sekolah memperoleh nilai bagus, maka perasaan lega. Dengan begitu, orang tua pun bangga. Sebaliknya, ketika nilai rendah maka timbullah rasa bersalah. 

Kalau saya, sudah usia 30-an pun tidak terpikir untuk membanggakan orang tua. Memilih profesi, bukan karena orang tua. Memilih jalan hidup, bukan untuk membanggakan orang tua.

Kebebasan merupakan nilai yang saya pegang. Nilai tersebut ditempatkan dalam urutan teratas daftar prinsip yang dianut. Dan, tak bisa ditawar.

Jadi, tidak merasa terbebani untuk membanggakan orang tua.

Meskipun Bapa saya menuntut banyak hal, tetapi tidak saya turuti. Paling juga, beliau bicara dengan nada menyindir, namun saya tidak tersinggung.

Orang tua menginginkan saya untuk mencapai prestasi yang bisa dipuji, namun tidak serta merta keinginannya diikuti. Toh, saya pun harus mengukur kemampuan diri. Lagipula, prestasi semata untuk dijadikan bahan obrolan anggota keluarga dan interaksi dengan tetangga.

Hanya untuk berbangga di depan mereka.

Buat saya, kebanggaan hanyalah pemikiran yang abstrak. Bukanlah sesuatu yang bisa diukur. Sedangkan, hal yang tengah saya perjuangkan adalah benda kongkrit.

Bagaimana seseorang mengukur kebanggaan? Hal yang dibanggakan oleh satu orang mungkin akan dianggap hal biasa orang lain.

Ditambah, saya tipe orang yang memiliki motifasi intrinsik. Apa yang  dilakukan tidak didorong oleh pihak lain---termasuk orang tua---sehingga kebanggaan tidak menjadi motifasi. Saya melakukan banyak hal karena dorongan pribadi sejak bangun pagi hingga menjelang tidur di malam hari. Tidak menunggu untuk dipuji.

Hal yang harus ditekankan, berbakti kepada orang tua berbeda sama sekali dengan membanggakan orang tua. Berbakti sebuah kewajiban dalam agama kami, membanggakan orang tua hanyalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diharuskan.

Kalau Anda ingin merasa bangga di depan orang tua---termasuk orang lain---sejatinya Anda membutuhkan validasi. Dan, mencari validasi hanyalah melelahkan diri.

Lagipula, tidaklah berdosa apabila belum bisa membanggakan orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun