***
Sejenak, mari kita menengok kembali ke masa di mana internet belum bersahabat dengan keseharian. Masa dimana, belajar pun masih menggunakan cara-cara manual nan konvensional.
Jika seseorang membutuhkan pengetahuan maka dia harus berjalan jauh ke tempat seseorang yang mempunyai pengetahuan dimaksud. Kita sebut saja orang itu sebagai "guru". Bukan hanya guru yang mengampu pelajaran di ruang kelas. Bisa saja guru yang dimaksud adalah ahli dalam ilmu beladiri atau ilmu agama.
Konon, seorang calon murid harus menempuh perjalanan panjang untuk menempuh tempat belajar. Mengarungi lautan dan gurun pasir yang ganas menandai betapa sulitnya warga mengakses sumber pengetahuan.
Kisah-kisah alim ulama dan orang-orang suci yang menyebarkan kebijaksanaan mewarnai buku-buku klasik. Kehidupan mereka penuh dengan perjuangan. Sebuah perjuangan dalam arti sesungguhnya. Demi memperoleh pengetahuan tak jarang raga dan nyawa mereka jadi "persembahan".
Kala itu, sumber pengetahuan menjadi sangat terbatas. Hanya orang-orang terpilih yang diperkenankan untuk bisa mempelajarinya.
Kini, pengetahuan seperti tumpukan manuskrip dalam sebuah bangunan besar. Bisa saja bangunan yang dimaksud sebesar Piramida Giza. Bahkan, jauh lebih besar darinya.
Hal yang dibutuhkan manusia saat ini hanyalah motifasi untuk sekedar menjentikkan jari di atas layar. Hanya dengan sekali sentuh, pintu gudang pengetahuan akan terbuka lebar.
Masalahnya, adakah motifasi untuk melakukan hal demikian?
***
Membicarakan motifasi tidak akan terlepas dari kebutuhan. Apabila sandang, papan dan pangan dikategorikan sebagai kebutuhan dasar, lantas pengetahuan dikategorikan kebutuhan apa?