Beberapa hari belakangan, saya lagi senang menggunakan fitur "mendengarkan artikel" di ponsel. Membuka begitu banyak artikel pilihan tanpa harus membacanya. Jadi, bisa tahu isinya sambil mengerjakan hal lain.
Menyalakan speaker bluetooth kemudian mengambil sapu untuk menyapu atau mengambil alat pel untuk mengepel. Bahkan, kalau pagi hari bisa dilakukan sambil gerak badan, pemanasan rutin menyambut hari nan penuh kegiatan.
Otot tetap digunakan, otak pun terisi materi. Waktu diisi hal berguna sehingga tidak terbuang sia-sia.
***
Demikianlah manfaat internet bagi saya. Sumber pengetahuan yang sangat luas, mudah diakses serta relevan dengan kebutuhan. Tidak ada alasan lagi untuk mengatakan jika belajar itu sulit.Â
Hambatan biaya dan hambatan akses hanyalah alasan yang dicari-cari oleh orang yang sejak awal enggan banyak belajar. Keterbatasan lambat laun terkikis dimana cara belajar dibuat lebih praktis bahkan gratis. Andaikan dunia begitu lebar sehingga kaki pun sulit untuk menapakinya, maka internet akan mempermudahnya.
Keluasan jangkauan itulah sesuatu yang mesti disyukuri. Bukan hanya mengucapkan hamdallah, tetapi juga memanfaatkan kemudahan itu pun menjadi bentuk bersyukur. Dengan memanfaatkan apa yang tersedia, maka hati terasa lega bahkan rezeki pun terasa lapang.Â
Pikiran tidak lagi dikelilingi tembok pembatas yang membuat kita bingung. Tidak tahu harus berbuat apa dan harus kemanakah kaki melangkah.Â
Ternyata benar, cakrawala berpikir yang luas bisa meruntuhkan tembok pembatas. Bahkan, bisa meruntuhkan dinding pemisah sebuah peradaban yang terkungkung karena alasan geografis. Pengetahuan yang luas pun bisa menembus gunung yang menghalangi cahaya kemajuan bagi kehidupan yang semula terisolasi dari dunia luar.
Keengganan mengakses pengetahuan hanyalah gangguan syetan. Atau, gangguan psikologis _bagi Anda yang tidak percaya syetan_ yang melumpuhkan naluri alami manusia untuk terus memanjat hingga ke puncak peradaban tertinggi.
***
Sejenak, mari kita menengok kembali ke masa di mana internet belum bersahabat dengan keseharian. Masa dimana, belajar pun masih menggunakan cara-cara manual nan konvensional.
Jika seseorang membutuhkan pengetahuan maka dia harus berjalan jauh ke tempat seseorang yang mempunyai pengetahuan dimaksud. Kita sebut saja orang itu sebagai "guru". Bukan hanya guru yang mengampu pelajaran di ruang kelas. Bisa saja guru yang dimaksud adalah ahli dalam ilmu beladiri atau ilmu agama.
Konon, seorang calon murid harus menempuh perjalanan panjang untuk menempuh tempat belajar. Mengarungi lautan dan gurun pasir yang ganas menandai betapa sulitnya warga mengakses sumber pengetahuan.
Kisah-kisah alim ulama dan orang-orang suci yang menyebarkan kebijaksanaan mewarnai buku-buku klasik. Kehidupan mereka penuh dengan perjuangan. Sebuah perjuangan dalam arti sesungguhnya. Demi memperoleh pengetahuan tak jarang raga dan nyawa mereka jadi "persembahan".
Kala itu, sumber pengetahuan menjadi sangat terbatas. Hanya orang-orang terpilih yang diperkenankan untuk bisa mempelajarinya.
Kini, pengetahuan seperti tumpukan manuskrip dalam sebuah bangunan besar. Bisa saja bangunan yang dimaksud sebesar Piramida Giza. Bahkan, jauh lebih besar darinya.
Hal yang dibutuhkan manusia saat ini hanyalah motifasi untuk sekedar menjentikkan jari di atas layar. Hanya dengan sekali sentuh, pintu gudang pengetahuan akan terbuka lebar.
Masalahnya, adakah motifasi untuk melakukan hal demikian?
***
Membicarakan motifasi tidak akan terlepas dari kebutuhan. Apabila sandang, papan dan pangan dikategorikan sebagai kebutuhan dasar, lantas pengetahuan dikategorikan kebutuhan apa?
Ada yang mengatakan jika pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier, saya setuju.
Tetapi, pengetahuan tidaklah sama dengan pendidikan tinggi. Pengetahuan merupakan kebutuhan semua orang dari berbagai lapisan. Pengetahuan _bagi saya_ adalah kebutuhan primer.Â
Setelah menyadari akan kebutuhan pada pengetahuan, maka motifasi akan timbul sendiri. Sebagaimana kebutuhan akan pangan, ketika lapar maka kita pun termotivasi untuk mencari makan.Â
Terkecuali, syaraf dalam tubuh Anda telah berhenti berfungsi untuk mendeteksi rasa lapar akan kebutuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI