Saya punya peci putih, kata orang tua itu peci haji. Walaupun belum naik haji, setidaknya punya pecinya. Mungkin karena saya punya, maka peci haji ini menjadi barang yang mengundang perhatian. Selain warnanya putih _kontras dengan lingkungan sekitar yang menjadi latar_ peci ini serasa menjadi simbol dari sebuah pesan yang disampaikan dalam tayangan sinetron Tukang Bubur Pengen Naik Haji.Â
Menonton sinetron ini untuk pertama kali, tokoh Haji Roy (diperankan Armando Jordy) yang selalu mengenakan peci putih menjadi tokoh favorit saya. Tentu, selain itu ada Diana (diperankan Isel Fricella) karena dia cantik, tentu saja. Roy seorang pemuda lajang dan  pengangguran yang tak henti-hentinya mengejar Diana untuk dipersunting. Menariknya, Roy adalah seorang anak orang kaya yang selalu membangga-banggakan harta orang tua. Dan, dia pun bangga karena telah naik haji pada usia muda.Â
Roy pikir, dia memiliki cukup modal untuk memperistri Diana.Â
Roy pun beranggapan jika gelar haji dan warisan dari ayahnya menjadi modal kuat untuk memikat seorang wanita. Berbanding terbalik dengan Syamsul (diperankan Omar Daniel) pemuda tukang bubur yang hanya bermimpi  untuk bisa naik haji.Â
Di sini, Syamsul dan Roy bersaing untuk bisa menaklukan hati Diana.Â
Selain Roy, ada Hajjah Maesaroh, ibu kandung Roy. Wanita paruh baya, pemilik minimarket di Kampung Kebon Singkong.Â
Daya tarik Hj. Mae adalah "koleksi gelang" yang sangat banyak. Tentu sebuah kebanggaan bagi dia kala mengenakan puluhan gelang emas di kedua tangannya. Kalau ditimbang, mungkin ada sekilo. Ketika berbicara, Hj. Mae sering memamerkan gelangnya itu sambil berujar, "saya tuh, sudah naik haji, 2X, ingat, 2X!"
Jika tokoh ini sedang berdebat dengan warga, maka gelar Hajjah itu sering ditekankannya. Bahkan, dia tidak segan jika dirinya menyebut akan masuk surga (karena sudah haji, bahkan 2X!)
Ketika menonton adegan ibu dan anak ini, saya sering tertawa sendiri. Bukan karena Ibu dan Nenek saya tidak ikut menonton. Namun, sepertinya hanya saya yang mengerti jika ini merupakan situasi yang lucu. Sebuah ironi.Â
Komedi situasi, memang bukan adegannya yang lucu, tetapi situasinya yang lucu.Â
***
Kalau menonton sinetron, sebaiknya tidak usah berpikir terlalu teknis. Sedikit saja membandingkan dengan drama Korea, abaikan logika, maka mungkin kita bisa menikmati alur ceritanya.Â
Berdasarkan pengalaman, sinetron masih menjadi sarana ampuh untuk menyampaikan pesan-pesan, kemudian layak untuk dibicarakan. Memang, ada penonton yang ngeh dengan pesan yang disampaikan, namun ada juga yang belum bisa memberi makna sebuah tontonan hingga episode terakhir.Â
Mungkin Anda pernah menyaksikan H. Roy dan Hj. Mae dalam versi kehidupan nyata? Jika ada, tentu kita mesti banyak ber-istighfar. Sambil mengelus dada, "ya Alloh, jauhkanlah saya dari sifat demikian."Â
Terlepas dari seberapa cepat penonton menyadari makna simbolik dari sebuah kopiah haji atau gelang emas, saya salut pada kecerdasan para sineas yang menyisipkan benda tak bicara ini dalam sinetron. Pertunjukkan audio visual, saya pikir, bisa menyihir.Â
Gambar bergerak bisa menjadi alat untuk menyindir sekaligus mengajak berpikir. Sebuah cara cerdas memberi tahu tanpa sok tahu, mewacanakan hikmah tanpa harus berceramah. Menghibur tidak harus selalu ngelantur.
-----------
Sumber bacaan:
Psikologi Komunikasi, Jalaluddin Rahmat. h. 112
Pengetahuan Penerangan Bagi Petugas Penerangan, Deppen RI, h. 159-190
wikipedia.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H