Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membedakan Obrolan Bermakna atau Sekedar Wacana

6 Februari 2024   06:22 Diperbarui: 6 Februari 2024   06:47 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Kalau anda menjadi saya, mungkin akan menjadi pribadi yang sering merasa kesal ketika mendengar orang yang banyak bicara. Ketika banyak orang suka bicara panjang lebar maka saya adalah orang yang tidak demikian. Apabila banyak orang suka mendengar obrolan hal sepele maka saya akan merasakan ketidaknyamanan. 

Memiliki kebiasaan "menyaring omongan orang" ternyata tidak selalu menyenangkan. Saya dihadapkan pada begitu banyak topik-topik obrolan yang tidak terlalu penting. Tetapi, diharapkan untuk mendengarkan obrolan jika tidak ingin disebut orang sombong dan kurang peduli. 

Orang lain pun tidak akan mengerti jika saya akan kelelahan apabila mendengarkan begitu banyak manusiap yang berbicara. Otak terus memilah mana obrolan yang bermakna serta mana yang sekedar wacana. Mereka tidak akan mengerti jika saya diam tanpa merespon adalah upaya untuk menghemat banyak energi. 

***

Ada bagusnya juga ketika saya punya kebiasaan banyak membaca. Membaca buku dan artikel di portal berita daring ternyata melatih otak untuk bisa mengkategorikan wacana kemudian mengurutkannya dalam skala prioritas. 

Dalam budaya kami, banyak bicara menjadi bentuk kesopanan. Orang yang pintar berbasa-basi akan dianggap sebagai orang yang ramah. Memang akan mengherankan jika anggapan ini terdengar warga Eropa yang berpikir sebaliknya. 

Hanya saja, begitu banyak wacana yang sulit dibedakan manakah yang bermakna dengan obrolan tanpa makna. Begitupula, sulit membedakan mana yang harus ditanggapi serius atau sekedar curahan hati belaka. Selebihnya, hanya untaian kata dan polusi suara semata.

Setiap orang membutuhkan perhatian. Mulai dari anak kecil yang semangat membicarakan mainan barunya hingga orang tua yang semangat membicarakan mobil barunya. 

Perhatian pun terpecah. 

Andaikan otak tidak terlatih untuk memilah obrolan, saya akan merasa stress. Satu sisi banyak hal yang tidak ingin saya dengar namun di sisi lain banyak orang membicarakan hal-hal yang tidak perlu didengar. Topik obrolan berganti hanya dalam hitungan detik. 

Jika diibaratkan, ada banyak artikel tertulis di udara dan saya harus membacanya satu per satu. Untungnya, kebiasaan membaca itu mampu meramalkan pola obrolan. Saya pun bisa dengan cepat memutuskan untuk menanggapinya serius atau sekedar mengatakan, "oh, begitu ya."

Hal terpenting, saya tidak bisa menghindar. Tidak boleh pula mengalihkan perhatian kepada gadget apalagi topik obrolan yang tidak familiar dengan lawan bicara. Kita bisa dicap sebagai manusia tidak punya tata krama.

Katanya, etika itu lebih penting dibanding ilmu pengetahuan belaka, apalagi yang tidak berguna.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun