Kalau anda menjadi saya, mungkin akan menjadi pribadi yang sering merasa kesal ketika mendengar orang yang banyak bicara. Ketika banyak orang suka bicara panjang lebar maka saya adalah orang yang tidak demikian. Apabila banyak orang suka mendengar obrolan hal sepele maka saya akan merasakan ketidaknyamanan.Â
Memiliki kebiasaan "menyaring omongan orang" ternyata tidak selalu menyenangkan. Saya dihadapkan pada begitu banyak topik-topik obrolan yang tidak terlalu penting. Tetapi, diharapkan untuk mendengarkan obrolan jika tidak ingin disebut orang sombong dan kurang peduli.Â
Orang lain pun tidak akan mengerti jika saya akan kelelahan apabila mendengarkan begitu banyak manusiap yang berbicara. Otak terus memilah mana obrolan yang bermakna serta mana yang sekedar wacana. Mereka tidak akan mengerti jika saya diam tanpa merespon adalah upaya untuk menghemat banyak energi.Â
***
Ada bagusnya juga ketika saya punya kebiasaan banyak membaca. Membaca buku dan artikel di portal berita daring ternyata melatih otak untuk bisa mengkategorikan wacana kemudian mengurutkannya dalam skala prioritas.Â
Dalam budaya kami, banyak bicara menjadi bentuk kesopanan. Orang yang pintar berbasa-basi akan dianggap sebagai orang yang ramah. Memang akan mengherankan jika anggapan ini terdengar warga Eropa yang berpikir sebaliknya.Â
Hanya saja, begitu banyak wacana yang sulit dibedakan manakah yang bermakna dengan obrolan tanpa makna. Begitupula, sulit membedakan mana yang harus ditanggapi serius atau sekedar curahan hati belaka. Selebihnya, hanya untaian kata dan polusi suara semata.
Setiap orang membutuhkan perhatian. Mulai dari anak kecil yang semangat membicarakan mainan barunya hingga orang tua yang semangat membicarakan mobil barunya.Â
Perhatian pun terpecah.Â
Andaikan otak tidak terlatih untuk memilah obrolan, saya akan merasa stress. Satu sisi banyak hal yang tidak ingin saya dengar namun di sisi lain banyak orang membicarakan hal-hal yang tidak perlu didengar. Topik obrolan berganti hanya dalam hitungan detik.Â