Awalnya, saya heran ketika Nenek  (80 tahun) selalu meminta mengganti kanal saluran berita di televisi. Beliau tidak tertarik untuk menonton berita internasional. Tentu saja cucunya harus segera mengganti saluran menjadi berita kriminal dalam negeri. Mengalah.
Dalam pikiran bertanya-tanya, apakah ini masalah selera yang berbeda? Atau, memang jalan pikiran kami berdua yang berbeda?
Ketika kami terhubung dengan media massa, maka harapannya adalah bisa terhubung dengan dunia. Saya ingin tahu apa yang tengah terjadi di dunia yang luas. Bahkan, penasaran pula apa yang tengah terjadi di angkasa luar andaikan ada yang memantau kemudian mengabarkannya.
Berbanding terbalik dengan Nenek yang enggan tahu banyak akan dunia internasional. Mungkin, baginya informasi yang tidak terbayangkan bisa membuatnya pusing, resah atau ketidaknyamanan mental. Pikiran yang seharusnya bisa menampung begitu banyak informasi dirasa sesak oleh kabar dunia yang membanjiri media massa.Â
Nenek bisa menjadi contoh jika tidak semua orang merasa dirinya terhubung dengan ummat manusia seluruh dunia. Tercipta sekat-sekat mental karena alasan yang tidak bisa dijabarkan.Â
Bisa jadi, sisa-sisa masa kolonial masih menghinggapi cara sebagian manusia Indonesia memandang dunia. Bangsa yang jauh di sana masih dianggap sesuatu yang asing; bukan hanya secara status kewarganegaraan namun juga status ras.Â
Nenek masih sering berujar jika ras yang berbeda dengan dirinya sebagai sesuatu yang tidak perlu diperhatikan. Baginya, orang asing tidak layak dijadikan sumber pengetahuan. Orang asing tidak layak dijadikan cerminan bagi perbaikan diri, justru tetangga terdekat menjadi satu-satunya pihak yang layak ditiru.Â
***
Ini menjadi salah satu contoh jika media massa tidak serta merta membuat pikiran kita menjadi terbuka. Ternyata masih ada sebagian orang yang menggunakan media massa semata untuk "mengintip kelakuan tetangga".Â
Ini bukan hanya bicara Nenek yang sudah tua. Orang muda pun menggunakan media massa _selanjutnya media sosial_ Â bukan sebagai sarana memantau dunia. Hanya memantau apa yang dilakukan oleh kolega di tempat kerja.Â
Sebagian dari kita membangun border dalam pikiran sendiri. Menghalangi diri dari berbagai kemungkinan apa yang akan terjadi. Bahkan melihat dunia tanpa lensa yang memadai. Dianggapnya jika apa yang ada di dunia ini semata apa yang terjadi di depan mata. Apa yang jauh di sana hanya menutup mata.Â
Seperti katak dalam tempurung, diantara kita masih ada yang menganggap jika kehidupan itu begitu sempit. Masih menganggap jika dunia kecil di sekitarnya adalah yang terbaik.Â
Kadang memalukan jika hal demikian masih tertanam dalam benak generasi muda. Saya tidak ingin menyalahkan jika pola berulang ini karena ulah penjajah. Toh, interaksi bangsa dengan dunia luar sudah terjadi cukup lama. Saya hanya menyayangkan jika masih berpikir jika orang luar adalah bangsa yang tidak perlu diajak duduk bersama kemudian menjadi teman bicara.Â
Alhasil, kita menjadi bangsa yang tidak berpikir secara global. Kemudian, enggan bertindak dalam skala lokal.Â
-----
Klik bahan bacaan:
1. Rasa ingin tahu;
2. Pola pikir orang Barat dan orang Timur;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H