"Ngeluh melulu ni orang?"
Keluhan seperti itu terlontar dari teman saya tentang rekan kerjanya yang "sering mengeluh".
Awalnya, saya tidak terlalu mengerti kenapa orang itu sering mengeluh. Bukan hanya mengeluhkan problematika utama pekerjaannya. Mengeluhkan hal remeh-temeh pun menjadi tema obrolan hampir setiap hari.
Hanya mengeluh, bukan bermaksud mencari solusi. Menyampaikan isi pikiran tanpa memperhitungkan keadaan.
Usut punya usut, kebiasaan mengeluh orang tadi bukan hanya dilakukan di depan satu orang. Dia melakukan pada hampir setiap orang yang dikenalnya. Saya tahu karena orang dia kenal pun menjadi kenalan saya juga walau kita tidak begitu akrab.
***
Kisah di atas hanya sekelumit dari kebiasaan orang-orang di sekitar yang sering mengeluhkan banyak hal. Karena sering menjumpai orang demikian, maka saya pun menyimpulkan jika berkeluh kesah sudah menjadi bagian dari "budaya".
Saya memperkirakan jika budaya berkeluh kesah timbul karena kita tidak memiliki budaya menulis dan membaca. Budaya lisan masyarakat di sini lebih kental dibandingkan budaya membaca dan menulis. Jauh lebih kental.
Mengomentari keadaan memang manusiawi. Tetapi, ketika disampaikan secara lisan memang terdengar seakan sebuah keluhan. Katanya, jika isi hati tidak disampaikan terasa ada yang "sesak" dalam dada.
Memang bisa dimaklumi. Coba kalau isi hati itu dituliskan di jurnal atau buku diari? Kan tidak perlu orang lain untuk menjadi "tong sampah" yang ada dalam hati. Orang lain pun tidak senang jika yang dia terima hanya "sampah".
Kemudian, ketika seseorang tidak memiliki minat baca, dia cenderung menggunakan jasa orang lain untuk mencari solusi dari keruwetan isi hati. Bukan membaca demi mencari solusi dari keruwetan yang dialami.
Atau, setidaknya bisa menghibur diri dengan membaca.