Manusia demokratis akan sulit menerima konsep ini. Orang yang berpikir demokratis, menganggap jika manusia adalah sama. Tanpa memandang jabatan, kekayaan apalagi sekedar gelar kesarjanaan.
Namun, warga Indonesia _yang menganut demokrasi_ harus menyadari jika ada sekelompok kecil manusia tidak berpandangan sebagaimana di atas. Masih ada sekelompok orang yang beranggapan jika pada suatu waktu dan daerah tertentu ada sosok yang patut disegani dan tidak boleh seorang pun berani mengusiknya, termasuk aparat penegak hukum sekalipun.
Di media massa, kita melihat sendiri bagaimana seorang polisi bisa "mengalah" pada seorang tokoh masyarakat. Berbanding terbalik dengan warga Sri Lanka yang "terlalu berani" melawan pemimpinnya sendiri.
Disadari atau tidak, manusia akan segan pada orang  yang memberi harapan dan kemapanan. Harapan akan kehidupan masa depan atau kehidupan di alam yang berlainan. Dengan kemampuan mempengaruhi, manusia yang disegani bisa membawa masyarakat menjadi penurut atau sebaliknya, penuntut.
Ketika itu sudah tidak lagi, maka kepentingan masing-masing akan menyeruak dan menguasai kondisi. Harapan hanya menjadi ilusi. Karena sesuap nasi lebih penting daripada kata-kata basi.
***
Bagi kami warga desa, sifat segan seorang aparat negara seperti di atas bisa dimengerti dan dimaklumi. Meskipun negara memberinya wewenang untuk menjalankan tugas, tapi dia sadar ada lingkup sosial yang tidak boleh tersentuh. Manusia dengan label "disegani" memang ada dan kita tidak bisa menutup mata.
Disegani, kata itu tidak datang begitu saja. Sebuah proses panjang dimana melibatkan banyak hal. Kata demikian tidak tersemat begitu saja. Warga bersepakat untuk memberikan predikat seseorang "disegani".
Tidak usah terlalu berharap label itu lahir dengan menempuh pendidikan tinggi bahkan hingga ke luar negeri. Walaupun tidak menutup kemungkinan, tapi jalur formal dan serba cepat sulit membentuk imaji warga. Karena, keseganan itu bukan dalam bentuk sertifikat yang bisa disentuh.
Keseganan itu bersifat imajiner. Hanya bisa datang dari warga yang tahu diri. Mengenal tradisi dan menahan untuk tidak tinggi hati.
Andaikan seorang pemuda dengan akademik tertinggi, lulusan luar negeri, tidak serta merta bisa disegani seperti seorang Kyai. Warga akan bertanya-tanya, "dia sudah berbuat apa buat kami?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H