Saya baru "menemukan" cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan. Sebagai orang desa yang memiliki kebutuhan berbeda dengan orang kota, saya harus mencari cara bagaimana menemukan pengetahuan yang cocok.
Mungkin Anda sepakat dengan saya jika pengetahuan yang kita peroleh sering sekedar "bahan impor" yang diterima tanpa proses penyaringan. Tanpa pernah terpikirkan jika kita pun sanggup "mengekspor" pengetahuan. Hanya saja, kebiasaan terima jadi tanpa proses memilah sudah menjadi kebiasaan yang "dibiasakan".
Kata orang, internet menyediakan segalanya. Apa yang ingin diketahui, maka tinggal menekan tombol "cari" di Google. Padahal, mesin pencari pun memiliki keterbatasan dalam hal apa yang tidak "terindera" olehnya. Justru internet masih "belajar" dari manusia yang terus mengunggah data secara gratis ke penyimpanan awan.
Menilik hal demikian, ternyata seharusnya kita pun meniru cara internet belajar yakni mengumpulkan data dari sekitar kita. Indera manusia digunakan untuk mengumpulkan data. Dan, otak berfungsi mengolah data itu.
Pasalnya, otak kita tidak dibiasakan untuk mengolah data. Kita lebih suka menghafal data tanpa tahu untuk apa data itu dan dimana digunakannya.
***
Berdasarkan pengalaman, kegiatan mengolah data itu mesti didasari dengan sebuah pertanyaan "untuk apa?" Dan, sedikit mengabaikan "kenapa?"
Dari sekian banyak yang kita perhatikan, angin berhembus, awan berarak, burung bernyanyi dan sebagainya; semuanya hanya fenomena biasa. Rasa ingin tahu manusia yang sedikit tidak mendorong untuk mengetahui lebih lanjut "kenapa" itu terjadi.
Jadi, abaikan saja pertanyaan "kenapa" itu. Biarkan ilmuwan yang menjawabnya lebih rinci. Fokus pada pertanyaan "untuk apa" Â fenomena itu ada di hadapan kita.
Setiap individu memiliki kepentingan berbeda. Jika petani pasti ingin tahu untuk apa ada burung beterbangan di areal pesawahan. Sedangkan seorang fotografer sudah tahu jika burung hanya menjadi objek foto. Bagi petani, apakah sekedar untuk dipotret?
Berdasarkan pertanyaan dasar itu, saya menjadi bergairah untuk mempelajari hal-hal yang dekat. Dalam arti harfiah, sangat dekat.
Berawal, dari kenapa otak saya begitu banyak menyimpan pengetahuan. Hingga, kenapa seekor ular masuk ke pekarangan. Saya yakin itu memiliki alasan.
Jika saya suka menonton TV, membaca koran, mendengar radio, itu ada alasannya. Karena berguna untuk menulis di blog atau sekedar update status di Facebook. Kebiasaan mengumpulkan informasi sejak kecil yang tidak disadari kegunaannya. Ternyata sekarang terjawab, informasi yang tersimpan lama itu berguna ketika saya menulis cerita di Wattpad.
Apabila ada seekor burung hinggap di pohon jambu dekat rumah, maka terjawab sudah jika itu berguna untuk dipotret kemudian diunggah di Instagram. Padahal, banyak orang yang mengabaikan fenomena itu.
***
Belajar sesuai apa yang terindera hasilnya memang tidak diuji kemudian masuk nilai rapor. Justru kita sendiri yang mengujinya. Kita pula yang memberikan nilainya.
Kebiasaan kita untuk mengharapkan nilai ujian tidak cocok dengan gaya belajar seperti ini. Belajar seperti saya hanya cocok bagi mereka yang menilai jika belajar adalah suatu kebutuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H