Bayangkan jika kosakata itu benda yang memiliki nyawa. Mereka disimpan di dalam sangkar yang terkunci rapat. Mereka murung karena bosan menunggu untuk dikeluarkan dan menghirup udara segar.
Kemudian, ada saat di mana si pemilik sangkar harus memilih salah satu diantara mereka. Tentu saja orang itu tidak akan 'gegabah' mengeluarkan kata dari 'sangkar'-nya. Dia akan mempertimbangkan banyak hal.
Nah, mempertimbangkan memilih kata itu ternyata membutuhkan waktu. Bahkan hingga beberapa detik. Saya tahu karena merasakannya sendiri. Ketika menjawab pertanyaan orang, sering 'mikir' terlebih dahulu sebelum bibir ini berucap.
Otak saya tidak mengizinkan si mulut untuk menganga dan mengeluarkan suara. Tidak spontan.
***
Di rumah, hanya saya anggota keluarga yang jarang bicara. Berbicara dengan adik hampir bisa dihitung berapa kata yang terlontar. Karena alasan rentang umur yang jauh dan topik pembicaraan yang tidak satu 'frekuensi', obrolan jarang terjadi.
Itu bukan menandakan kami tidak akur. Rasa sayang saya pada keluarga bukan dengan menemani mereka bicara panjang lebar. Melakukan apa yang semestinya dilakukan. Membiarkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Bahasa sederhananya, tidak banyak 'ngomel'.
Masalah sering timbul ketika orang seperti saya hidup di tengah budaya Sunda. Dalam kultur kami, berbicara adalah bentuk keramahtamahan dan keakraban. Bahkan, bertukar pengetahuan harus dibicarakan bukan dituliskan.
Untungnya, saya punya cara lain untuk mengomunikasikan isi pikiran. Melukis.
Selain menulis, orang yang jarang bicara mengungkapkan isi pikiran dengan melukis. Atau, melukiskan pengalaman melalui pemotretan. Dan, disebarkan melalui media sosial.
Walaupun, sebenarnya kami sangat kurang dalam kecerdasan sosial.