Jika Anda bertemu saya, tidak usah terlalu berharap bisa mengobrol dengan akrab. Bukan karena tidak peduli pada Anda, tapi saya merasa kekurangan kata-kata untuk dijadikan bahan pembicaraan.
Saya memohon pengertian pada Anda untuk memulai obrolan. Kenapa harus begitu?
Dalam otak manusia yang jarang bicara _sejauh yang rasa rasakan_ tidak tersedia topik pembicaraan yang ingin dibicarakan. Bukan karena kami tidak tertarik pada dunia dan kemelut kehidupan di dalamnya, tapi cara kami mengungkapkan itu bukan dengan banyak bicara.
Bagi yang kurang paham karakter manusia, orang seperti kami akan dianggap sombong. Tidak, kami tidak bermaksud begitu. Kerendahan hati menurut kami bukan dengan 'mengakrabkan' diri dengan orang lain. Kerendahan hati menurut versi kami adalah mempersilakan orang lain untuk menentukan topik pembicaraan.
Kami tidak mau orang lain merasa tidak nyaman dengan pilihan topik pembicaraan yang dipilih. Karena, biasanya kami akan memilih topik yang 'tidak umum' bahkan membosankan bagi sebagian orang.
Asal Anda tahu, otak saya berpikir lebih keras ketika berbicara dengan orang lain. Berpikir untuk memilih kata-kata yang tepat. Sekaligus berpikir untuk memilih topik obrolan yang tepat.
Saya sering menganalisa latar belakang lawan bicara. Maaf, jika pendidikan dia rendah dan pengetahuan umumnya kurang maka sekuat tenaga menahan diri untuk tidak bicara yang 'rumit'. Bicara menggunakan bahasa yang sederhana meskipun kadang yang pertama kali terpikir malah kata yang terkesan 'ilmiah'.
***
Orang yang jarang bicara bukan berarti kekurangan kata untuk dirangkai dalam sebuah kalimat. Kemudian untaian kalimat itu dirangkai dalam sebuah wacana. Dia lihai dalam hal itu.
Hanya saja, koleksi kosakata di dalam otaknya seperti 'berebutan' ingin diucapkan.
Bayangkan jika kosakata itu benda yang memiliki nyawa. Mereka disimpan di dalam sangkar yang terkunci rapat. Mereka murung karena bosan menunggu untuk dikeluarkan dan menghirup udara segar.
Kemudian, ada saat di mana si pemilik sangkar harus memilih salah satu diantara mereka. Tentu saja orang itu tidak akan 'gegabah' mengeluarkan kata dari 'sangkar'-nya. Dia akan mempertimbangkan banyak hal.
Nah, mempertimbangkan memilih kata itu ternyata membutuhkan waktu. Bahkan hingga beberapa detik. Saya tahu karena merasakannya sendiri. Ketika menjawab pertanyaan orang, sering 'mikir' terlebih dahulu sebelum bibir ini berucap.
Otak saya tidak mengizinkan si mulut untuk menganga dan mengeluarkan suara. Tidak spontan.
***
Di rumah, hanya saya anggota keluarga yang jarang bicara. Berbicara dengan adik hampir bisa dihitung berapa kata yang terlontar. Karena alasan rentang umur yang jauh dan topik pembicaraan yang tidak satu 'frekuensi', obrolan jarang terjadi.
Itu bukan menandakan kami tidak akur. Rasa sayang saya pada keluarga bukan dengan menemani mereka bicara panjang lebar. Melakukan apa yang semestinya dilakukan. Membiarkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Bahasa sederhananya, tidak banyak 'ngomel'.
Masalah sering timbul ketika orang seperti saya hidup di tengah budaya Sunda. Dalam kultur kami, berbicara adalah bentuk keramahtamahan dan keakraban. Bahkan, bertukar pengetahuan harus dibicarakan bukan dituliskan.
Untungnya, saya punya cara lain untuk mengomunikasikan isi pikiran. Melukis.
Selain menulis, orang yang jarang bicara mengungkapkan isi pikiran dengan melukis. Atau, melukiskan pengalaman melalui pemotretan. Dan, disebarkan melalui media sosial.
Walaupun, sebenarnya kami sangat kurang dalam kecerdasan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H