Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Padi sebagai Pembentuk Budaya, Bukan Sekadar Kebutuhan Konsumsi

19 April 2022   10:00 Diperbarui: 22 April 2022   09:54 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita awali pembicaraan ini dengan pertanyaan, kenapa saya makan nasi?

Pertanyaan sederhana tapi membutuhkan jawaban yang tidak sederhana. Namun, untuk menyederhanakannya saya mengajak anda untuk menggunakan sudut pandang seorang petani. 

Bukan sudut pandang pedagang apalagi pegawai kantoran. Karena, profesi demikian "tidak memiliki kewajiban" untuk mengonsumsi padi. Ada banyak pilihan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan.

Menamam padi dan mengolah hasil turunannya, sudah menjadi bagian dari budaya yang sulit untuk dihilangkan begitu saja. Seakan DNA kami para petani dibubuhi kromosom yang khas dan sulit hilang kecuali bermutasi.

Mungkin Anda tidak begitu menyadari jika padi pembentuk budaya sebagian masyarakat kita. Terutama di Pulau Jawa, padi sudah menjadi dasar dari terbentuknya sebuah peradaban nan besar. Dari dahulu hingga _seharusnya_ kini.

Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa (terjemahan) sudah menyimpulkan jika penduduk tanah Jawa dibentuk oleh sebuah budaya yang berasal dari menanam padi. Diawali oleh komunitas yang membabat hutan lebat diteruskan dengan menanam padi di ladang atau sawah.

Setiap anggota dari komunitas akan mengerahkan segala daya upaya untuk keberlangsungan tanaman padi hingga berubah menjadi nasi dan siap dikonsumsi. 

Konon, komunitas yang semakin besar itu membentuk kerajaan dengan segala sistem kepemerintahannya. Dan, para raja pun tidak bisa begitu saja mengganti kebiasaan rakyat dengan komoditas lain.

Dalam jangka waktu yang sangat panjang, kebiasaan itu terbentuk. Sumberdaya alam seperti tanah dan air dimaksimalkan untuk penanaman padi. Logam sebagai bahan perkakas pun ditujukan untuk itu. Tidak lupa hewan ternak seperti sapi dan kerbau turut digerakan untuk mengolah lahan.

Cukup sekian "sejarah" padi di tempat kami. Lalu, kita beranjak pada diri si manusia sendiri yang terpengaruh _baik langsung atau tidak langsung_  oleh padi dan segala faktor penunjangnya.

Manusia Jawa, hidup diantara himpitan pesawahan. Sulit untuk menghindari itu. Di kawasan dekat pantai seperti Pantura pun pesawahan adalah ciri khas geografisnya. Manusia Jawa tidak bertumpu pada laut sebagaimana orang Eskimo.

Sawah yang mengitari pusat pemukiman dan pusat pemerintahan sulit untuk menghindar dari "memikirkan" tanah basah sumber makanan itu. 

Burung sedang memakan butir padi (Dokpri.)
Burung sedang memakan butir padi (Dokpri.)

Meninggalkan sawah harus menerima resiko setimpal kekurangan pangan. Karena, tanah Jawa tidak cukup untuk menyediakan pangan bagi penduduknya yang teramat padat.

"Panen kapan?"
"Berapa hasil panen musim ini?"
"Kapan musim tanam dimulai?"

Percakapan demikian sering terlontar dari mulut petani. Pikiran dominan kami bukan tentang fluktuasi harga saham, tetapi berkutat bagaimana meningkatkan hasil panen. Waktu pun habis untuk itu. Sehingga tidak usah heran jika masyarakat Jawa tidak terpikir untuk menjelajah negeri lain. Apalagi menaklukan bangsa lain.

Sulit bagi kami untuk meninggalkan tanah garapan. Kalaupun harus pergi mengembara, pasti akan kembali. Mudik.

Silakan mencari komunitas orang Jawa di dunia. Hanya di Suriname Anda akan menemukan warga Jawa jauh dari tanah kelahirannya. Dan, enggan kembali.

Budaya penanam padi bisa dinilai sebagai budaya yang lamban berkembang. Karena kehidupannya sangat bergantung kalender matahari. Jika industri begitu cepat berkembang, maka pertanian seakan kegiatan yang berulang.

Namun, industri tidak akan bertahan tanpa pertanian. Seorang pengamat pembangunan dari India, ML. Jhingan menyarankan untuk membangun areal perindustrian tidak jauh dari areal pertanian.

Sulit dipungkiri jika budaya penanam padi tidak bisa serta merta diubah 100% menjadi masyarakat industri. Kontribusi sektor pesawahan terhadap kehidupan sehari-hari masih memiliki andil besar. Misalnya, dalam suatu rumah tangga terdiri ayah, ibu dan 2 orang anak.

Si ibu dan bapa masih berkutat dengan menanam padi karena berbagai alasan. Kedua anaknya bisa bekerja di sektor industri yang tidak jauh dari tempat tinggal. Besar atau pun kecil, urusan makanan sudah terselesaikan dari hasil orang tua sebagai petani. Dan, kebutuhan lain ditambal oleh pendapatan si anak.

Ilustrasi sederhana itu menjadi pemandangan lumrah di desa seantero pulau Jawa. Termasuk di desa kami. Alhasil, upah minimum regional bisa ditekan ke angka yang lebih "masuk akal" bagi pengusaha.

Apa yang saya saksikan hari ini sudah ditulis dalam buku Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan puluhan tahun lalu. Dimana Perang Dunia baru usai dan negara miskin mulai berpikir membangun negerinya.

Nah, ketika kita ramai-ramai membangun sektor non-padi maka sebaiknya jangan lupa kami; orang-orang yang menyiangi pesawahan. Bekerja di bawah terik mentari. 

Buat kami, budaya menanam padi masih dianggap modal budaya bagi pembangunan  itu sendiri. Andaikan bisa, kebiasaan menanam padi ini didaftarkan ke Unesco sebagai warisan budaya tak benda.

Karena, darinya masyarakat bisa memenuhi kebutuhan. Berbagai kebutuhan sekaligus, kebutuhan dasar fisik, kenyamanan sekaligus aktualisasi diri.

Dengannya, kedekatan manusia dengan makhluk hidup lain bisa terjalin. Di dekat pesawahan, koloni burung terbentuk. 

Binatang mamalia hingga melata mendapatkan sumber makanannya. Warga pelaku industri tidak perlu jauh untuk sekedar menghilangkan kepenatan karena hijaunya pesawahan menyajikan keindahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun