**
Apa jadinya ketika pikiran sudah menuju angkasa, tapi raga masih di bumi?
Saya suka merasakan situasi seperti itu. Sebagai orang yang hidup di tengah masyarakat pedesaan, pikiran saya sering berimajinasi tentang kemapanan hidup. Padahal, lingkungan masih jauh dari kondisi mapan.
Ada jarak yang terlalu jauh antara cita-cita dan realita. Bukan hanya cita-cita yang bersifat pribadi tetapi juga harapan akan kemapanan kehidupan yang lebih luas. Bukan hanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar tetapi harapan agar lingkungan yang terindera mendekati situasi ideal.
Sering saya merasa frustasi ketika melihat kenyataan bahwa saya dilahirkan dan dibesarkan di sebuah lingkungan yang semakin menjauh dari situasi ideal. Kehidupan kemasyarakatan semakin tidak terkendalikan, semua teori tentang kenyamanan dan kemapanan malah tidak terlihat di hadapan.
Apabila pikiran membayangkan sungai yang jernih, maka sebaliknya sungai pun justru semakin kotor. Terlebih jika penyebab semua itu bukanlah orang lain, tetapi orang-orang terdekat kita.Â
Hal yang lebih menyakitkan adalah ketika menyaksikan penyebab ketidakmapanan itu pun karena ketidakpedulian bukan karena ketidaktahuan. Pendeknya, seberapa luasnya pengetahuan seseorang tidak menjamin perilakunya untuk lebih tertib dan tertata.
Saya mencoba menggali _meskipun bukan ahli_ apakah apa yang terjadi di depan mata karena pengaruh budaya? Apakah budaya itu timbul begitu saja atau terbentuk dari proses yang panjang?
Akhir-akhir ini, di grup Facebook saya sering mendapatkan kiriman foto situasi zaman penjajahan Hindia Belanda. Lalu, banyak diantara anggota grup yang berkomentar betapa situasi masa lalu dan masa kini malah jauh berbeda. Lebih baik? Oh, justru lebih buruk.
Indahnya kanal-kanal di Batavia berubah menjadi sungai kotor dan sempit ala Jakarta. Wilayah pemukiman yang tertata berubah menjadi kumuh dan mengganggu mata. Walaupun, tentu saja manusianya menjadi lebih merdeka. Saking merdekanya, manusianya hidup jadi seenaknya.
***
Pikiran, itu pula yang terus menjadi rasa penasaran saya. Apakah cara berpikir benar-benar berpengaruh pada realita?
Jika kita berpikir sangat jauh ke depan, mungkinkah berpengaruh juga pada realita kekinian. Lalu, benarkah memperbaiki pola pikir turut serta memperbaiki realita?
Jawaban dari pertanyaan  itu membutuhkan waktu untuk pembuktian. Membutuhkan kesabaran ekstra untuk menunggu apa yang terpikir itu pun terwujud. Seperti menunggu waktu untuk membuktikan jika manusia mampu terbang ke luar angkasa.
Lumayan banyak buku yang dibaca, terutama yang bertemakan pikiran, budaya dan filsafat. Sekilas, saya mengira jika itu terlalu teoritis bahkan cenderung mengawang-awang. Tetapi, setelah ditelaah lebih jauh ternyata kita harus berpikir lebih mengawang-awang untuk mengubah kenyataan.
Fisik kita berfungsi untuk melakukan hal-hal yang terindera. Tetapi, fungsi pikiran jelas untuk "menyentuh" hal-hal yang tidak terindera.
Nah, fungsi raga bukan untuk berpikir makanya lakukan hal sederhana saja; sesederhana membuang sampah pada tempatnya. Ada pun fungsi pikiran untuk melayang ke dimensi lain di luar dunia yang terindera. Membayangkan situasi yang sangat luas bahkan lebih luas dari alam semesta adalah tugas pikiran.
Saya yakin jika hal ini diajarkan di sekolahan. Hanya saja, belum tentu setiap orang punya "perangkat" untuk memisahkan jalur kerja fisik dan mental. Jangan heran jika "maaf" pekerja kasar tidak menggunakan pikirannya maka hasil kerjanya pun terlihat kasar. Hasil kerja tanpa sentuhan ide perbaikan.
Tetapi ada pula pemikir yang terlalu banyak berpikir. Pekerjaannya sekadar berpikir tanpa tahu bagaimana melaksanakan isi pikirannya. Tangan dan kaki terkunci di belakang meja dan kursi sehingga dia mati pun orang tidak tahu apa yang dipikirkannya. Sekalipun itu ide brilian.
***
Saya tidak mau menyalahkan budaya dan hasil akal pikiran orang tua dan generasi sebelumnya. Bagaimanapun mereka sudah meneteskan keringat dan mengucurkan darah demi kelanggengan hidup bangsanya.
Mungkin banyak hal yang harus diperbaiki dari pola pikiran kita. Buat saya, kita bukan hanya harus meniru kemajuan bangsa lain _apalagi orang lain_ tetapi berpikir tentang bagaimana lingkungan terdekat kita menjadi lebih mapan dan nyaman.
Teknologi memang sebuah bentuk kemajuan. Namun, kenyamanan juga mesti diutamakan. Jangan sampai teknologi malah membuat negeri ini menjadi lebih sumpek sehingga tidak layak lagi ditempati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H