"Karakter, budaya dan kedisiplinan yang berbeda (dengan negara lain)", begitulah tulis Presiden Joko Widodo mengenai alasan kenapa Indonesia tidak menerapkan 'lockdown'.Ternyata, masalah 'manusia' yang dikhawatirkan Pak Jokowi. Masalah isi pikiran manusia dianggap sebagai "rintangan" ketika 'lockdown' diterapkan.
Saya sendiri tidak terlalu paham seperti apa dan bagaimana 'lockdown' itu. Hanya saja, kata ini menghiasi linimasa media sosial akhir-akhir ini. Banyak yang membandingkan penerapannya dengan negara lain.
Memang, saya pun bertanya-tanya dalam hati apakah warga kita sanggup untuk menerima efek dari diterapkannya 'lockdown' ini. Sebagaimana disinggung Presiden, apakah karakter, budaya dan kedisiplinan yang kita miliki mempunyai pengaruh besar akan keberhasilan diterapkannya 'lockdown'.
Mungkin, maksud Presiden adalah karakter, budaya dan kedisiplinan yang 'jelek' yang sudah tertanam dalam benak masyarakat. Kalau hal yang baik dan menunjang diterapkannya kebijakan, ya nampakanya Presiden tidak akan mengkhawatirkannya.
Dalam pemahaman saya, Presiden ingin mengatakan kalau banyak warga yang kurang disiplin, susah diatur dan kurang percaya ilmu pengetahuan. Pemberitahuan dan segala imbauan bisa jadi masih dianggap angin lalu.
Contoh yang paling terlihat nyata adalah bagaimana warga masih buang sampah sembarangan. Alhasil, masalah banjir tidak kunjung terselesaikan. Drainase mampet disana-sini. Tapi, tidak kapok tuh.
Memang, saya sendiri membayangkan hal-hal buruk apabila 'lockdown' diterapkan terutama di kota besar seperti Jakarta. Tapi, saya tidak ingin menyampaikannya di sini. Saya mencoba optimis dan berpikir positif saja.
***
Apabila seorang pemimpin negara mengeluarkan pernyataan _apalagi tertulis_, maka biasanya memiliki makna yang luas. Apalagi, bahasa Twitter yang diharuskan ringkas tetapi langsung pada hal yang dianggap fokus pembicaraan.
Ketika saya membaca pernyataan Presiden tentang tidak diterapkannya 'lockdown' ini maka yang terbayang dalam benak saya adalah keruwetan kultur orang Indonesia. Kemajemukan kita ternyata bisa juga menyusahkan walaupun itu bisa dianggap berkah dari Tuhan.
Masyarakat Indonesia, dengan alasan demokrasi, begitu sulit diajak bicara untuk 'satu suara'. Ini tercermin dalam perbincangan di media sosial. Malahan, ada diantaranya mengantarkan mereka ke penjara.
Kita bukan negara militeristik yang masih mengandalkan tentara untuk mengatur warga. Saya pun tidak ingin para serdadu menodongkan senjata demi mendisiplinkan warga. Jangan sampai deh...
Saya hanya mencoba memahami apa yang dipikirkan para pengurus negeri ini tanpa harus merasa paling mengerti situasi. Apalagi, menghakimi.
Memimpin negeri ini memang tidak semudah mengendalikan mesin-mesin di pabrik. Dimana, mereka bisa distel sesuai keinginan pemiliknya.
Manusia adalah subjek yang memiliki kehendak yang "unik". Keunikan ini yang belum bisa diterka karena masih ada dalam relung jiwa yang terdalam.
Referensi:
twitter.com
facebook.com
F. Budi Hardiman, Seni Memahami, Heurmenetik dari Scheilermacher  Sampai Derrida (versi e-Buku), Kanisius, Yogyakarta: 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H