Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menilai Kepintaran Anak di Era Media Sosial

10 Desember 2019   06:16 Diperbarui: 10 Desember 2019   06:19 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak pintar itu seperti apa sih? Pertanyaan itu selalu menggelayut di pikiran saya. Kalau masih ada yang berpikir bahwa anak pintar itu adalah anak yang memiliki nilai rapor terbesar, kok kayaknya tidak 'fair'. Bukankah nilai rapor tidak bisa mengakomodir semua kemampuan anak?

Persepsi Tentang Anak Pintar

Cara kita menilai anak pintar sepertinya masih dari sisi angka-angka di rapor. Tetapi, bagaimana kita menilai kemampuan mereka dimana kemampuannya tidak masuk dalam kurikulum sekolah?

Sebagai contoh, adik saya sudah pintar menjahit tas di usianya yang baru 17 tahun. Di sekolah, tidak ada pelajaran menjahit tas karena tidak masuk kurikulum. Pelajaran itu didapatkan dari saudara saya sebagai pengusaha konveksi.

Lalu, apakah orang-orang akan menilai dia "anak yang kurang pintar"? Apalagi di pelajaran lain nilainya tidak terlalu bagus.

Lalu, bagaimana cara kita menilai anak pintar kalau tidak ada ujian kemampuan anak di luar kurikulum sekolah?

Saya ingat betul bagaimana saya sering disebut sebagai anak pintar ketika masih anak-anak karena nilai rapor saya lumayan bagus. Tetapi, setelah remaja saya jadi tidak tertarik hal yang bersifat akademis makanya nilainya menurun drastis. Saya lebih tertarik hal bersifat praktis seperti menanam sayuran atau beternak domba.

Sekali lagi, bagaimana bisa kita menilai kepintaran seseorang apalagi orang dewasa yang tidak bersekolah?  Makanya, saya mengajak untuk mengubah persepsi kita tentang anak pintar.

Dunia ini begitu luas, banyak hal yang bisa dipelajari. Kepintaran seorang anak tidak bisa ditentukan oleh kita sebagai orang dewasa. Bagi saya, biar dirinya sendiri yang menilai kepintaran itu. Atau, biar saja alam yang menilainya apakah dia bisa 'berkompromi' dengan kehidupannya kelak.

Ya, lingkungan yang menilai kepintaran si anak bisa dengan mudah berubah. Apabila di sekolah makanya dia akan dipuji guru dan teman-temannya. Tetapi, ketika dia sedang berada di rumah? Atau, ketika sedang bermain dengan temannya?

Mari kita bayangkan, seorang anak yang sedang sendirian di tengah hutan. Anggap saja di tersesat ketika sedang bertamasya bersama keluarga.

Nah, disinilah guna 'kepintaran' si anak akan teruji. Benar-benar diuji oleh alam!

Anak yang sedang berada di tengah hutan sendirian tidak bisa menggunakan pelajaran matematika atau sejarah untuk bisa keluar dari masalah yang sedang dihadapinya. Karena dia punya otak untuk berpikir maka dia akan mencari tahu bagaimana dia keluar dari hutan dan kembali ke rumah.

Persepsi saya ini muncul ketika mengikuti kegiatan Pramuka. Waktu masih usia sekolah, justru Pramuka-lah yang bisa 'menilai' seberapa pintarkah anda. Dalam kondisi yang sendirian di tengah kegelapan hutan, nilai rapor sebagus apapun tidaklah membantu.

Sekali lagi, biarlah alam (lingkungan) yang menilai kepintaran anak ...

Media Sosial sebagai Penilai Kepintaran

Di media sosial, orang bisa dipuji sekaligus bisa juga dicaci. Itulah kenyataannya.

Saya berpikir alangkah baiknya jika media sosial anak-anak diisi dengan berbagai tugas sekolah. Tentu saja, bukan laporan angka-angka layaknya nilai rapor.

Apabila tugas sekolah berupa kegiatan "aplikatif" semisal prakarya elok juga rasanya jika hasilnya dipajang di media sosial. Dengan begitu, penilaian tidak hanya datang dari guru tetapi dari orang lain bahkan dari orang yang tidak dikenal.

Ada resiko, jika penilaian akan membuat si anak menjadi minder kalau penilaiannya jelek. Tetapi, itulah hidup. Kenyataannya manusia akan tetap memberikan penilaian pada manusia lain.

Baik dan buruk, bagus dan jelek karya seorang anak ya seperti itulah adanya. Jika ditakutkan berpengaruh buruk pada mental si anak, maka nonaktifkan kolom komentar. Karena, suatu saat si anak dan orang tuanya bisa melihat jika ada "proses belajar" yang telah terjadi karena terekam jelas di media sosial.

Kalau sekarang, bagaimana kita tahu kalau si anak sudah "belajar" ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun