Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setelah Kesejahteraan, Apa yang Dicari Demonstran?

20 Agustus 2019   07:04 Diperbarui: 20 Agustus 2019   07:12 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Hongkong menuntut RUU Ekstradisi (kompas.com)

Kebebasan mengurus diri sendiri, itukah yang diinginkan sebagian warga Hongkong sehingga melakukan demonstrasi selama berminggu-minggu? Apakah kesejahteraan hidup tidak cukup untuk bisa membuat orang 'terdiam' dan tidak beraksi melawan Pemerintah.

***

Apabila demontrasi tak berkesudahan ala kaum Buruh di Indonesia menuntut kesejahteraan, maka orang Hongkong bukan menuntut itu. Harapan akan kemapanan bukan hanya sebagai isu utama sebuah tuntutan rakyat pada Pemerintah. Kebebasan untuk mengurus diri sendiri menjadi isu yang begitu penting bagi orang dengan kesejahteraan lebih dari cukup.

Mahasiswa di Cianjur berani membakar polisi dalam demontrasi demi tuntutan kesejahteraan. Dapat dimengerti, urusan perut bisa membuat orang kalap dan kurang memperhatikan resiko. (Kompas.com)

Demontrasi, tidak hanya sebagai bentuk kekesalan atas ketidaksanggupan Pemerintah memberikan kehidupan yang layak pada rakyatnya. Demontrasi bisa menjadi benar-benar bentuk penyampaian gagasan.

Gagasan tidak melulu tentang masalah perut. Gagasan bisa berupa bentuk yang 'belum terwujud'.

Pernahkah kita mendengar orang yang berdemontrasi menuntut masalah hak azasi. Padahal, filosofi yang mendasari kedua pihak sangatlah berbeda. Contoh terbaru adalah demontrasi mahasiswa asal Papua di Malang yang berakhir ricuh.
(Tribunnews.com)

Suatu permintaan yang 'tidak azasi' apabila sekelompok orang meminta untuk 'menentukan nasibnya sendiri'. Apakah demontrasi yang meminta memerdekakan diri seperti itu harus 'dilayani' aspirasinya.

Di Papua, kita saksikan demontrasi bisa begitu 'panas' karena hasutan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Rasa 'tersinggung' sangat mungkin memantik kemarahan siapa pun.(detik.com)

Demontrasi Sebagai Pemenuhan Kebutuhan

Saya tidak akan membahas masalah politik Hongkong karena bukan kapasitas saya untuk itu. Saya mencoba mengamati, kenapa demontrasi itu begitu kencang ketika kehidupan sudah jauh lebih dari kata 'cukup'.

Demontrasi seakan sebuah kebutuhan selain kebutuhan primer bahkan sekunder. Seperti seni, demontrasi seakan sebuah kebutuhan untuk mengekspresikan isi hati.

Kekesalan pada banyak pihak bisa 'dimuntahkan' dengan berteriak di tengah jalan. Negara seakan menjadi sarana untuk menerima apa pun kata-kata yang keluar dari mulut sang demonstran.

Motif dari orang berdemontrasi, tidak bisa dijelaskan secara rinci. Namun, kadang tuntutan orang berdemontrasi bisa menjadi 'rancu' apabila malah mengubah tatanan yang sudah ada.

Misalnya, orang berdemontrasi menuntut Pemerintah memperbaiki keadaan tetapi membuat kemacetan. Kan aneh. Menuntut pihak lain menyelesaikan masalah malah menambah masalah.

Di media sosial, banyak orang berteriak menuntut kesejahteraan. Tetapi, jarang ditemui apa solusi untuk mendatangkannya. Begitu pun berdemontrasi, kalau sekedar menuntut tanpa bisa menawarkan solusi, ya jadi 'basi'.

Saya pernah ikut berdemontrasi. Tentu saja dengan agenda yang jelas bukan sekedar emosi sesaat. Bahkan, dalam prakteknya diusahakan tertib tanpa menganggu ketertiban. Karena dilindungi konstitusi, ya memberitahu polisi agar tidak dicurigai.

Berdemontrasi hampir sama dengan saya menulis opini di blog. Apa yang akan kita sampaikan kepada khalayak benar-benar dipikirkan.

Opini yang akan dibentuk sebagai 'solusi alternatif' dari apa yang telah atau akan dilakukan Pemerintah. Karena, kita yakin solusi yang diusung  bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Apabila demontrasi tanpa solusi, jangan aneh apabila tidak mendapatkan simpati. Berita tentang orang berdemontrasi malah dikomentari dengan 'nyinyir'. Apalagi kalau mahasiswa yang berdemo, kesannya sebagai manusia intelektual malahan luntur.

Solusi Tidak Hanya Demontrasi

Inti dari semua kegiatan adalah membangun negeri, termasuk berdemontrasi. Apabila berdemontrasi bisa menawarkan solusi, maka lakukanlah.

Solusi harus ada dalam jiwa kita karena tidak mungkin juga setiap hari demonstrasi. Bukankah kontribusi bisa terlihat dari aksi bukan sekedar 'so aksi' ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun