Penggemar superhero bisa merasakan perubahan cerita atau karakter para tokoh dari masa ke masa. Kesan 'dewasa' Â dalam film superhero semakin terasa ketika kostum hingga alur cerita diubah karena penggemar yang juga beranjak dewasa.
***
Gundala Putra Petir, itu judul filmnya versi dulu. Saya masih bocah waktu nonton film itu. Tampilannya memang khas era itu, kostum warna hitam dengan celana dalam yang dipakai diluar.
Dalam pikiran saya waktu itu Gundala adalah versi lokal dari The Flash. Lagipula di tahun 90-an kedua film itu sering diputar di RCTI. Tapi, setelah saya baca-baca ternyata berbeda. Walaupun mirip.
Alhamdulillah, Joko Anwar sebagai sutradara punya trik untuk tidak meniru plek-plekan Gundala versi dulu dan menyesuaikannya dengan zaman. Katanya, cerita dan kostumnya di-'upgrade'.
Kalau melihat poster dan trailernya, Gundala memakai kostum yang memiliki banyak perbedaan dengan versi pendahulunya. Seperti superhero produk Marvel dan DC, kostum disesuaikan dengan perkembangan selera dan teknologi yang ada. Karena, kalau merujuk versi pendahulunya akan terkesan nora.
Saya suka kostum Gundala yang sekarang, lebih gagah dan realistis. Nah, realistis itulah yang ingin saya bahas di sini.
Realistis, Pola Pikir Orang Dewasa
Superhero, sangat jauh dari realistis. Kekuatan supernya tidak bisa tertandingi kecuali oleh  para penyihir di zaman Nabi Musa. Bisa terbang menembus awan kayak Superman atau hidup abadi seperti Wolverine.
Para superhero sadar diri kalau mereka ditonton orang dewasa yang sulit "dibohongi". Orang dewasa memang punya imajinasi tetapi ya nggak berlebihan juga. Makanya cerita superhero diawali dengan kronologi 'terciptanya' mereka agar masuk akal.
Kemarin, saya nonton Ant-Man di GTV. Ceritanya dibuat "terkesan ilmiah" dengan begitu banyak istilah dimana saya sendiri tidak mengerti sepenuhnya. Tidak tahu kalau Gundala, silakan saja nonton di bioskop...he..
Nah, entah bagaimana kalau anak SD nonton film superhero  versi terbaru. Apalagi anak TK?
Pernah nonton The Dark Knight, sekuelnya Batman? Terus terang, saya kebingungan mengikuti alur ceritanya. Setelah beberapa kali nonton baru paham.
Batman yang diperankan Cristian Bale menjadi film superhero yang "tidak ramah anak". Selain ceritanya sangat dewasa, adegan kekerasan dan efek "dark" alias kelam memang tidak cocok untuk anak-anak bahkan remaja.
Politik, Lebih Sering Ditonjolkan
Orang dewasa penuh dengan kemelut politik. Kehidupan politik yang belum mapan seakan terwakilkan oleh superhero yang mengarah pada kemapanan.
Kapten Amerika sebagai pahlawan perang dunia, ternyata menjadi model rujukan bagi cerita superhero selanjutnya. Masalah perebutan kekuasaan menjadi sebuah gambaran realita yang mengasyikan untuk diperhatikan.
Avengers bentuk lain dari simbol kekuasaan. Para anggota Avengers adalah manusia pilihan dari pemerintah untuk melawan kejahatan. Bahkan, Fantastic 4 juga dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk melawan kejahatan yang merugikan kepentingan negara.
Di kemudian hari, para superhero sepertinya akan menjadi pembawa pesan bahwa apabila pemerintah gagal melindungi rakyatnya maka tenang saja, superhero masih berpihak pada kita semua.
Bukan Tontonan Anak-anak
Dulu, saya mengenal superhero lewat film kartun. Memang untuk ditonton anak-anak. Tapi, versi realmovie para superhero tidak layak ditonton anak-anak.
Selain penuh dengan kekerasan, jalan ceritanya lebih terkesan sebagai cara untuk mewakili perasaan orang dewasa. Dari permasalahan rumah tangga, konflik politik hingga masalah kepentingan bisnis lebih dominan mewarnai cerita superhero. Bahkan, pertarungan antara baik-jahat menjadi "samar" apabila penonton tanpa nalar yang mumpuni.
Kalau anak-anak anda suka superhero alangkah baiknya dikasih poster, boneka atau komiknya saja. Warna-warninya lebih cocok untuk mereka dibanding filmnya yang cenderung "kelam".
Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H