Majalah Forbes sudah merilis daftar 50 Orang Terkaya di Indonesia 2018. Lantas, apakah daftar itu sekedar cara untuk "pamer kekayaan"? Saya pikir justru ini untuk meyakinkan bahwa Indonesia masih punya orang yang "bisa membangun negerinya sendiri". Hanya saja, apakah mereka mau menginvestasikan lebih banyak dananya untuk pembangunan nasional?
***
Investasi di Daerah
Di media sosial, saya merasa pusing juga membaca makian netizen pada konglomerat. Mereka dianggap serakah karena menguasai kekayaan Indonesia. Apalagi, jika makian itu sudah berbau SARA. Saya menjadi bertanya-tanya, benarkah mereka begitu? Apakah kekayaan para konglomerat itu tidak mempunyai "dampak positif" bagi pembangunan nasional?
Sebagian orang mungkin tidak paham bahwa negara ini menganut sistem demokrasi ekonomi dimana setiap orang mempunyai hak untuk mengembangkan usahanya. Sebagaimana demokrasi politik, "suara terbanyak" selalu menang!
Para konglomerat ini, bagaimanapun, dibutuhkan dalam sistem ekonomi yang sedang kita anut. Sayangnya, jurang kaya-miskin yang begitu dalam membuat iri kalangan masyarakat ekonomi bawah. Saya tidak tahu persis mengapa itu terjadi. Namun, saya menyaksikan sendiri betapa mereka "enggan" berinvestasi di daerah karena berbagai alasan.
 Setidaknya, di daerah saya begitu jarang perusahaan nasional yang beroperasi kecuali perusahaan jasa seperti perbankan dan perusahaan ritel seperti minimarket. Sedangkan perusahaan manufaktur yang bisa mempekerjakan banyak orang, masih sedikit.
Pembangunan daerah tanpa adanya investasi terlihat sangat lambat. Begitu banyak orang mendambakan pekerjaan yang berpenghasilan tinggi, maka orang desa berduyun-duyun pergi ke kota. Kota besar menjadi begitu sesak sedangkan desa-desa lengang tanpa pembangunan.
Apabila Presiden getol mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, apakah orang-orang kaya warganya sendiri tertarik berinvestasi? Investasi di daerah bukan sekedar cara untuk "menumpuk kekayaan", tetapi juga menggerakan kehidupan. Di desa, rentan terjadi kecemburuan jika ada perusahaan asing beroperasi. Namun, apabila pengusaha lokal dilibatkan maka diharapkan kecemburuan sosial bisa meredup. Investasi dengan niat yang tulus untuk membangun negeri, dalam operasionalnya tidak akan "menyerobot" hal-hak warga lokal. Justru, jika dijalankan dengan baik investasi akan "menolong" banyak orang untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
Investasi pun perlu disertai empati. Dengan empati, investor tidak hanya berpikir tentang kepentingan dirinya sendiri tetapi juga berpikir kepentingan orang lain.
Apabila kemiskinan di pedesaan bisa diselesaikan dengan pola investasi, maka investor akan menjalankan perusahaan yang bisa "membantu menyelesaikan" masalah kemiskinan itu sendiri. Sistem bisnis yang dibangun, benar-benar melibatkan orang lokal baik sebagai karyawan atau penentu keputusan.