Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membuat Undang-undang tentang Pembatasan Robot

21 November 2018   20:47 Diperbarui: 22 November 2018   11:29 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia berebut lahan pekerjaan dengan robot. Itulah yang tengah terjadi di  beberapa bidang industri. Manasaja yang mengalami hal itu, silakan cek data Pemerintah. Namun, robotisasi benar-benar telah terjadi dan manusia mulai kehilangan pekerjaan karenanya.

***

Berebut Pekerjaan dengan Robot

Beberapa waktu lalu, saya menonton tayangan Dunia Kita produksi VOA yang disiarkan Metro TV. Di Amerika, supir truk dan operator alat berat kehilangan pekerjaan karena direbut robot. Ditayangan Channel Japan, saya saksikan robot-robot sudah bisa menggantikan tugas pegawai supermarket mulai dari pengepakan hingga pembayaran.

Robot menjadi pesaing manusia dalam hal mencari pekerjaan. Hanya saja, robot tidak turut mengantri di Job Fair sambil membawa ijazah. Mereka tahu diri, untuk tidak turut serta memadati lokasi pameran karena hanya akan menjadi pusat perhatian.

Robot punya 'mekanisme' sendiri untuk melamar pekerjaan. Melalui kecerdasannya, robot akan menghubungi perusahaan dari jarak jauh. Mereka punya cara sendiri untuk mempresentasikan kemampuannya. Kemampuan sebuah robot bisa menggantikan begitu banyak manusia di dalam perusahaan. Pengusaha begitu tertarik dengan cara kerja yang efektif dan efisien, dan robot punya itu.

Kemampuan robot yang luar biasa, bisa menggoda manusia untuk mempekerjakannya. Apalagi, jika di suatu negeri tidak ada aturan yang membatasi penggunaan robot. Pengusaha tentu saja mencari keuntungan usaha, jika robot bisa menjadi bentuk investasi yang menjanjikan maka dapat dipahami jika mesin 'berotak' lebih dipilih.

Meskipun robot tidak punya nyawa, tapi kecerdasannya bisa membantu produksi. Produktifitas yang diharapkan bisa tercapai tanpa banyak protes dari serikat pekerja. Para robot bisa dikerjakan 24 jam sehari 7 hari seminggu, alias terus-terusan sampai rusak. Mereka tidak akan protes "minta kenaikan gaji". Paling-paling, rusak sistemnya apabila 'kecapaian'.

***

Dalam dunia kehidupan yang lebih luas robot bisa membentuk suatu tatanan kehidupan yang baru. Kecerdasannya bisa mengubah budaya suatu masyarakat. Hal yang paling kentara adalah perubahan kebiasaan manusia dalam menggunakan tenaga fisiknya.

Dengan robot, fisik manusia diajak untuk lebih 'santai'. Pekerjaan yang bisa tergantikan oleh robot dengan mudah dihandel. Para petani tidak usah kotor-kotoran dan panas-panasan lagi karena pekerjaannya digantiin oleh robot.

Namun, yang cukup "menyedihkan" adalah ketika pekerjaan yang menggunakan otak pun diganti oleh robot. Sebut saja pekerja yang menginput data di perusahaan. Dengan kecanggihan teknologi, data-data bisa diolah secara otomatis dan dalam waktu singkat dapat diperoleh hasilnya.

Sebut saja kasir di supermarket. Tugasnya memasukan data transaksi penjualan setiap harinya. Dengan robot, data transaksi secara otomatis masuk ke dalam sistem perusahaan.

Bahkan, pegawai kantoran yang diidamkan banyak orang pun bisa digantikan oleh robot. Sistem perusahaan tidak hanya berdasarkan keunggulan sumberdaya manusia. Kecerdasan buatan yang menawarkan peningkatan keuntungan bisa merayu investor untuk menanamkan modalnya untuk sektor ini. Bahasa sederhananya, jika pekerjaan manusia bisa ditangani dengan mesin, kenapa tidak menggunakan robot saja.

Apakah Pengusaha Peduli dengan Masalah Pengangguran?

Jika situasi "eksodus" pekerja virtual ini terjadi dengan massif, apakah masalah pengangguran bisa terhindari? Saya sih husnudzon saja jika pengusaha peduli dengan masalah pengangguran ini. Namun dilema, jika masalah pekerja yang "banyak tuntutan" ingin cepat diatasi, ya menggunakan robot dijadikan solusi.

Ketika tuntutan pembukaan lapangan kerja digaungkan para politisi, namun robotisasi sedang terjadi. Saya tidak sedang membicarakan situasi di Indonesia tetapi secara global saja. Pengurangan jumlah pekerja akibat robotisasi seakan dilimpahkan pada Pemerintah. Atau, membiarkan saja para pencari kerja bergelut sendiri dengan situasi sulit yang sedang mereka hadapi.

Dalam bayangan saya, investasi berarti membuka lapangan kerja baru. Tetapi, ketika sudah ada robot apakah lapangan kerja benar-benar terbuka lebar?

Ini mah kecurigaan saya saja, masalah perburuhan yang berlarut-larut sengaja dipelihara dan dibuat akut sebagai alasan untuk mempercepat robotisasi. Tapi, semoga kecurigaan saya ini tidak terbukti. Semoga saja pekerja dan pengusaha benar-benar berkolaborasi untuk meningkatkan produksi.

Masalah sosial yang timbul karena pengangguran memang lumayan mengkhawatirkan. Namun, di negara kapitalis-demokratis seperti Indonesia seorang manusia dituntut untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Manusia dianggap unggul jika dia bertahan di tengah persaingan yang jelas tidak 'fair'. Disatu sisi, ada para pencari kerja dengan kualifikasi tinggi dan sangat dihargai. Disisi lain, ada para pekerja yang sekedar "dihargai tenaganya saja".  Ketika ada yang kalah, maka frustasi membuat keruh situasi. Tujuan kita untuk bernegara sekedar "basa-basi".

Ada Kelas Baru Dalam Strata Sosial

Robot baru saja mendirikan kelas sosial baru dalam masyarakat. Ukurannya tentu saja bukan jumlah kekayaan, tetapi "dibutuhkan" dimana kebalikannya adalah "tidak dibutuhkan".

Manusia yang bernyawa namun tidak berdaya masuk dalam kelas sosial "yang tidak dibutuhkan". Para robot masuk dalam kelas sosial "dibutuhkan". Istilah "pasar tenaga kerja" benar-benar diartikan secara literleks. Maaf, memilih calon pekerja sama seperti memilih budak di zaman jahiliyah. Pencari tenaga kerja akan menerapkan kriteria "sadis" dalam menentukan siapa yang diterima di perusahaannya.

Kalaulah si robot punya perasaan, maka dia bakalan angkuh. Rasanya, paling percaya diri kalau berhadapan dengan atasan di perusahaan. Bagaimana tidak, kemampuannya sungguh luar biasa seakan bisa menyelesaikan masalah perusahaan "tanpa dibayar".

Bagaimana dengan orang "yang tidak dibutuhkan" oleh perusahaan. Tentu saja, karena mereka punya perasaan akan merasa sakit hati. Bahkan, ekstrimnya akan terjadi kecemburuan sosial.  Kalau sampai pada klimaksnya, bisa terjadi pertikaian antar klan. Aduh, maaf. Kebanyakan nonton film jadinya berpikir terlalu kejauhan. Namun, bukankah itu sangat mungkin terjadi!

Pertikaian layaknya film Terminator, sih kayaknya masih jauh. Namun, pertikaian antara si empunya robot dengan "pekerja manusia" sangat mungkin terjadi. Implikasinya, PHK bisa terjadi lebih sering dari sebelumnya.

Perlunya Undang-undang Pembatasan Penggunaan Robot

Pembatasan robot tidak hanya mempertimbangkan hal di atas. Mungkin para ilmuwan memiliki banyak alasan untuk membatasi penggunaan robot.

Bagi masyarakat Indonesia, penggunaan robot yang "terlalu cepat" sepertinya belum siap. Masih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan. Negara dengan jumlah penduduk besar, masih perlu rasa "humanis" dalam mengelola bangsanya. Apalagi, kita pun harus mengedepankan kepentingan masyarakat luas dibandingkan kepentingan segelintir orang.

Dalam menghadapi situasi ini, perlu kearifan pembuat kebijakan. Dalam menghadapi perubahan yang "dramatis" ini, jangan sampai mengakibatkan "situasi yang dramatis".

Sumber:

Tayangan TV

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun