Manusia yang bernyawa namun tidak berdaya masuk dalam kelas sosial "yang tidak dibutuhkan". Para robot masuk dalam kelas sosial "dibutuhkan". Istilah "pasar tenaga kerja" benar-benar diartikan secara literleks. Maaf, memilih calon pekerja sama seperti memilih budak di zaman jahiliyah. Pencari tenaga kerja akan menerapkan kriteria "sadis" dalam menentukan siapa yang diterima di perusahaannya.
Kalaulah si robot punya perasaan, maka dia bakalan angkuh. Rasanya, paling percaya diri kalau berhadapan dengan atasan di perusahaan. Bagaimana tidak, kemampuannya sungguh luar biasa seakan bisa menyelesaikan masalah perusahaan "tanpa dibayar".
Bagaimana dengan orang "yang tidak dibutuhkan" oleh perusahaan. Tentu saja, karena mereka punya perasaan akan merasa sakit hati. Bahkan, ekstrimnya akan terjadi kecemburuan sosial. Â Kalau sampai pada klimaksnya, bisa terjadi pertikaian antar klan. Aduh, maaf. Kebanyakan nonton film jadinya berpikir terlalu kejauhan. Namun, bukankah itu sangat mungkin terjadi!
Pertikaian layaknya film Terminator, sih kayaknya masih jauh. Namun, pertikaian antara si empunya robot dengan "pekerja manusia" sangat mungkin terjadi. Implikasinya, PHK bisa terjadi lebih sering dari sebelumnya.
Perlunya Undang-undang Pembatasan Penggunaan Robot
Pembatasan robot tidak hanya mempertimbangkan hal di atas. Mungkin para ilmuwan memiliki banyak alasan untuk membatasi penggunaan robot.
Bagi masyarakat Indonesia, penggunaan robot yang "terlalu cepat" sepertinya belum siap. Masih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan. Negara dengan jumlah penduduk besar, masih perlu rasa "humanis" dalam mengelola bangsanya. Apalagi, kita pun harus mengedepankan kepentingan masyarakat luas dibandingkan kepentingan segelintir orang.
Dalam menghadapi situasi ini, perlu kearifan pembuat kebijakan. Dalam menghadapi perubahan yang "dramatis" ini, jangan sampai mengakibatkan "situasi yang dramatis".
Sumber:
Tayangan TV