Di sana juga ada sebuah patung yang dikenang untuk Tan Malaka serta ada tiga makam. Makam ayahanda dan makam ibunda. Serta di tengah-tengahnya adalah makam simbolis dari tanah pemakaman Tan Malaka yang berada di Jawa Timur.
Museum yang dikelilingi kelapa yang tumbuh subur itu terkunci rapat. Tidak ada siapa-siapa. Dari jendela yang terbuka. Penulis berusaha mengintip sejenak. Tidak ada yang istimewa dari pengelolahan museum Tan Malaka selain aura kecintaan Tan Malaka terhadap Republik Indonesia terasa sangat kuat.
Di bawah museum, sisa-sisa serpihan kayu lapuk teronggok. Museum Tan Malaka tidak seutuh Museum Bung Hatta di Bukit Tinggi atau Museum Buya Hamka di Maninjau.
Dalam hati penulis berbisik, bukan saja namanya yang sempat terlupakan tetapi juga rumahnya yang kini menjadi museum yang terbengkalai?
Seperti tidak dipedulikan dan seperti tidak ada perlengkapan karya-karyanya yang dipajang bak perpustakaan yang tertata rapi. Tidak ada gambar-gambar yang bergelantungan selain hanya satu atau dua lembar gambar yang terpajang.
Demikian pula dengan lemari tua dan kerongkeng tua yang tidak terawat, selebihnya hampa. Seperti tidak ada niat untuk mewariskan semangat Tan Malaka yang namanya sempat dikubur sejarah tetapi diangkat kembali oleh langit.
Menyaksikan itu semua, penulis sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi tentang museum Bapak Republik Tan Malaka yang terbengkalai. Semoga saja penulis salah. Dan kita semua masih menyisakan sedikit kepedulian di balik kesedihan hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI