Penyebab gagalnya pemberontakan komunis pada tahun 1926 yang kepada Hindia-Belanda adalah Tan Malaka. Musso petinggi partai komunis Indonesia mengatakan bahwa kegagalan pemberontak itu adalah karena Tan Malaka, Tan Malaka dari Manila mengirim surat kepada beberapa cabang di daerah bahwa tidak setuju dengan pemberontakan itu.
Pun pada pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 penyebab gagalnya kata DN. Aidit adalah karena Tan Malaka. Hingga pada akhirnya di PKI sendiri Tan Malaka dicaci dan disingkirkan sampai kemudian Tan Malaka mendirikan partai sendiri, Partai Murba-Musyawarah Besar.
Di suatu kesempatan Tan Malaka dekat dengan pan-islamisme. Di kesempatan berikutnya Tan Malaka dikatakan komunis. Menurut Harry Foeze, Peneliti Tan Malaka "Melihat itu semua, saya melihat Tan Malaka seorang yang 50 persen Islam dan 50 persen Marxis, jadi Tan Malaka tidak 100 persen Marxis juga tidak 100 persen Islam".
Demikian pula lah di suatu kesempatan Tan Malaka sendiri mengatakan bahwa "ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang muslim karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia."
Sebagai orang Minang, Tan Malaka adalah seorang datuk yang telah disumpah sembah. Adat dan keyakinan adalah urat hati yang tidak dapat dicabut.
Sedangkan sebagai seorang pejuang Tan Malaka adalah seorang marxisme. Pemikiran dan gerakannya adalah adalah bagian otak dari marxisme. Namun berdasarkan kenyataannya, Tan Malaka tetaplah dikuburkan sebagai seorang muslim.
Di suatu kesempatan dari Kota Bertuah, Pekanbaru, penulis mencoba mengaliri canggihnya lekak-lekuk Kelok Sembilan yang diapit rimbunnya perbukitan.
Dari sana terus mengalir sampai membelah indahnya Lembah Harau. Terus mengalir menuju Pandam Gadang, Suluki, Limah Puluh Kota. Jalanan yang berlika-liku menanjak menurun.
Di pinggir kanan-kiri terbentang sawah yang menghijau. Di kiri-kanan menjulang perbukitan. Suasana kampung yang sejuk dan beraroma penulis nikmati sepanjang perjalanan.
Setibanya di museum Tan Malaka, penulis seakan tidak dapat berkata apa-apa karena Museum Tan Malaka itu sendiri adalah rumah Tan Malaka dulu.
Tempat Tan Malaka tidur sebelum tidur di surau. Tempat Tan Malaka berteduh bersama kedua ayahanda dan ibunda tercinta. Tempat di mana Tan Malaka dihormati dan dihargai sebagai Ibrahim Datuk Tan Malaka.