Mohon tunggu...
Muhammad Yafi A
Muhammad Yafi A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Membagikan informasi yang penting dalam bentuk tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Greenflation: Baik atau Buruk bagi Indonesia?

24 Januari 2024   14:33 Diperbarui: 24 Januari 2024   14:45 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Greenflation : The Cost of The Green Transition in Small Open Economies oleh Florencia S. Airaudo, 2022

Dalam debat Cawapres 2024-2029 pada tanggal 21 Januari 2024, muncul istilah Greenflation yang mengacu pada inflasi hijau.

Greenflation sendiri memiliki pengertian naiknya harga-harga akibat semakin banyaknya masyarakat yang sadar dan peduli pada lingkungan. Greenflation menjadi sebuah ancaman serius terhadap penanganan perubahan iklim. 

Apabila transisi menuju ekonomi hijau semakin cepat maka biaya yang dibutuhkan semakin tinggi juga dan peluang pencapaian target penanganan perubahan iklim akan semakin kecil.

Percepatan transisi menuju emisi karbon rendah diperlukan untuk menjaga pemanasan global pada tingkat yang aman. Namun, ketersediaan alternatif hijau seperti logam dan energi masih belum banyak sehingga mengakibatkan harga transisi hijau menjadi lebih mahal. Kebijakan pemerintah yang diarahkan untuk dekarbonisasi juga meningkatkan biaya yang lebih tinggi untuk konsumen.

Perubahan iklim adalah suatu kenyataan. Semua negara perlu mengevaluasi opsi pertumbuhan dan pembangunan dengan mempertimbangkan ulang penggunaan sumber daya tak terbarukan dan energi berbasis fosil. 

Menghindari penerapan perubahan ramah lingkungan akan berdampak buruk pada bencana alam, pemanasan global, dan kerusakan lingkungan. Namun, peralihan ke ekonomi hijau juga memerlukan biaya ekonomi yang besar.

Isabel Schnabel, eksekutif ECB yang bertanggung jawab atas operasi pasar, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap biaya inflasi dari transisi dari bahan bakar fosil ke ekonomi rendah karbon yang lebih ramah lingkungan. 

Menurutnya, rencana transisi ini dapat menimbulkan risiko kenaikan inflasi dalam jangka menengah dan meningkatkan tekanan inflasi di Kawasan Euro. Kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim seperti pajak karbon dan kompensasi atas biaya energi yang lebih tinggi bagi rumah tangga miskin juga dapat meningkatkan tekanan inflasi di Kawasan Euro.

Mayoritas negara berkembang masih ketinggalan dalam menerapkan sumber energi yang ramah lingkungan dibandingkan dengan negara maju. Data pada Gambar 1 menunjukkan perbandingan konsumsi energi terbarukan dan tidak terbarukan di seluruh dunia, Amerika Latin dan Karibia, serta lima negara yang menjadi pemimpin dalam penerapan energi ramah lingkungan, yaitu Brasil, Chili, Swedia, dan Norwegia.

Meskipun penggunaan energi ramah lingkungan meningkat di seluruh dunia, terdapat perbedaan yang signifikan dalam penggunaan energi terbarukan antara negara-negara. Negara-negara seperti Swedia dan Norwegia telah memulai transisi ke energi bersih lebih dari 60 tahun yang lalu dan sekarang energi terbarukan menyumbang 2/3 dari total energi yang dikonsumsi. Di Amerika Latin, penggunaan energi terbarukan masih rendah dan memiliki perbedaan yang signifikan antara negara-negara seperti Brazil dan Chile. Namun, secara keseluruhan, dunia belum banyak berubah dalam menerapkan energi terbarukan seperti Norwegia dan Swedia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun