Ada lagi sebuah keterangan," Abu Hanifah berkata, 'Saya mendengar ada seorang ahli ilmu dari Samarkand berkata, 'seseorang datang jauh dari bukhara hanya ingin mendiskusikan persoalan tentang ilmu.Â
Seperti inilah seharusnya yang dilakukan pencari ilmu, tak segan-segan mendiskusikan segala sesuatu. Allah saja memerintahkan kepada nabi untuk diskusi  dengan para sahabatnya. Padahal nabi adalah orang yang paling pandai, sehingga sepanjang hidup beliau biasa berdiskusi bahkan dengan para sahabatnya'".
Ini menunjukkan bahwa Mushonnif ingin menunjukkan keharusan bagi seorang ahli ilmu untuk menambah ilmunya dan menambah semangat intelektualitas dengan cara berdiskusi dan berdialog. Ketika seseorang membaca buku, pada hakikatnya ia hanya akan menemukan pengetahuan yang tidak lebih dari 60% saja, selebihnya bisa dilakukan dengan tukar pikiran dan pendapat.Â
Karena cara kerja pikiran hanya mampu mengungkap satu sisi saja sedangkan satu sisinya di tangkap oleh pikiran orang lain. Untuk menangkap kedua sisi itulah dibutuhkan diskusi dimana di dalamnya terdapat dua sudut pandang dari dua pikiran yang berbeda. Pada acara diskusi itu pula, pemahaman sepenuhnya dari suatu pengetahuan akan didapat dan di rajut.
Dalam konsep ilmu logika ada yang dinamakan Dialektika. Konsep ini di kemukakan oleh Hegel. Maksud dari konsep tersebut adalah hukum pertentangan antara dua oposisi setingkat yang akan mengantarkan pada proposisi yang lebih tinggi. Jadi, jika ada tesis maka akan muncul anti tesis dan sintesa.
Dalam hukum ini, tidak ada konsep yang benar maupun salah, dua proposisi tersebut bukanlah suatu penentang terhadap yang lain, melainkan justru untuk mengantarkan pandangan seseorang ke tingkat yang lebih tinggi.
Pesantren justru sudah lama melakukan hal iitu, dengan mengadakan musyawaroh-musyawaroh sughro maupun kubro, dan juga sebuah forum diskusi besar yang biasa di sebut Bahtsul Masa'il. Di mana para santri mengadakan forum musyawarah dan adu argumen mengenai suatu permasalahan yang juga di hadiri oleh pengasuh serta para ppentahqiq.
Nyatanya, aktifitas diskusi yang dilakukan para "penuduh" itu, justru adalah hal yang sudah dilakukan dan di anjurkan ulama-ulama terdahulu, bahkan sebuah kitab yang di anggap sebagai biang kekolotan pesantren, Ta'lim Al-Muta'allim. Syaikh Az-Zarnuji melihat besarnya manfaat dari diskusi ini, sehingga hal tentang diskusi di ulnag-ulang dalam kitab ini.Â
Kitab Ta'lim Al-Muta'allim adalah kitab yang mengajak orang untuk berfikirkritis, meluaskan pandangan dan mengajak santri untuk menerima perbedaan pendapat.
Kitab ini juga mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang intelektual yang arif, yang tiada hanya mengagungkan pengetahuan saja, namun juga bisa menyelaraskan kecerdasan akal, emosional, dan religiusitas. Sesuatu yang sat ini menjadi trend, bahkan di suatu kampus Universitas Islam Negri menerapkan Visi ini dengan menyebutnya " Kesatuan Ilmu".
Di dalam kitab ini pun menyebut bagaimana kita harus menguatkan kepekaan sosial. Tersebut dalam ucapan Mushonnif, " menjadi seorang ahli ilmu harusnya wira'I, setengah dari wira'I adalah tidak terlalu banyak makan, tidak terlalu banyak tidur, dan tidak banyak berguarau.Â