Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan-perempuan di Tepi Surga

22 April 2016   14:34 Diperbarui: 23 April 2016   03:59 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(satu)

Kecantikan adalah putrinya! Putri semata wayang dari mendiang suaminya. Putri yang terlahir untuk melukis kecantikan pada setiap lekuk tubuhnya; kecantikan titisan bidadari.

Tetapi putrinya adalah perempuan kebanyakan. Perempuan yang tak mampu menanggalkan mimpi indah tentang surga--surga yang terampas akibat bujuk rayu Hawa. Tragedi purba yang menjerumuskan manusia ke lembah dunia.

Tetapi bagi putrinya, di dunia bukan berarti tak ada surga. Justru surga di dunia begitu nyata; bukan rekaan khayali seperti cerita di teks-teks suci. Kata putrinya, di kehidupan nyata, surga menjelma dalam ragam rupa kesenangan, ketenaran, kekayaan, serta kecantikan.

Dan putrinya paham benar, tangga menuju surga itu selangkah lagi akan dilewatinya. Dengan pesona parasnya, surga akan digenggamnya kembali. Dengan keelokan tubuhnya, surga akan kembali tersaji di bawah telapak kakinya. Yah! Kecantikanlah yang akan menghantar putrinya pada tangga ketenaran dan kekayaan. Baginya, kecantikan adalah surga, dan surga adalah kecantikan.

Tetapi justru itu yang membuat perempuan tua itu gundah gulana. Hari-harinya dipenuhi kegalauan. Dengan kelembutan seorang ibu, perempuan tua itu berulang kali mengingatkan, “itu buka surga anakku. Itu bukan surga! Kamu keliru. Kamu justru sedang menghantar dirimu ke jurang kehancuran. Sadarlah anakku!” 

Tetapi adakah yang sudi melepas surga yang telah ada persis di depannya? 

 

(dua)

Bau minuman alkohol, kepulan asap rokok dan hawa mesum, mengepung setiap sudut warung remang yang berdinding papan lusuh itu. Dentuman musik dangdut sengaja dilantunkan untuk menghentak-hentak birahi; birahi liar yang ingin segera dilampiaskan. Di depan warung, beberapa perempuan muda bergincu tebal, duduk berjejer di bangku panjang, memamerkan lekuk tubuhnya dengan balutan pakaian menerawang. Pria normal mana yang tidak naik-turun jakunnya menyaksikan pemandangan menantang itu!

“Mau ke surga bang? Sama saya saja yuk! Dijamin ketemu bidadari,” begitu selalu perempuan-perempuan itu menawarkan diri pada setiap pria yang datang.

Di sudut warung remang-remang, seorang perempuan belia diapit dua pria separuh baya. Bau alkohol menyembur dari mulut pria-pria itu, seperti mengaduk-aduk isi perut perempuan itu. Tetapi perempuan itu tetap tersenyum. Juga pada saat bibir kedua pria itu menciumi sekujur tubuhnya yang mulus. Juga, ketika tangan-tangan kasar bertato pria itu menyikap rok mininya. Juga, tatkala pria-pria itu menyeret tangan perempuan itu menuju ke belakang warung—untuk menuntaskan birahi yang meledak-ledak.

 

(tiga)

“Dasar perempuan sialan!” Dan untuk kesekian kalinya, lengan berotot itu berayun ke wajah perempuan muda itu. Perempuan itu langsung tersungkur mencium lantai. Darah semakin deras mengucur dari hidung dan pelipisnya yang robek. Perempuan itu hanya sesungukan, sebab tangisan berarti telapak tangan dan kaki semakin bertubi-tubi bersarang di sekujur tubuhnya.  

Pria lengan berotot itu, berdiri berkacak pinggang, lututnya goyah. Wajahnya memerah. Dari mulutnya menyembur bau khas minuman keras murahan. Hari yang sial! Uangnya amblas tak tersisa di meja judi, dan setiba di rumah, perempuan itu malah  menagih uang untuk belanja.

“Mulai besok kamu yang cari uang. Biar kamu tahu, kalau cari uang itu susah. Paham!” pria itu berkata sambil menjambak rambut perempuan itu sehingga wajah perempuan itu menengadah.

“Sekarang sediakan makanan. Saya sudah lapar. Cepat!” hardik pria itu.

Perempuan itu malah tertunduk.

“Hehhh! Kau tuli ya. Saya lapar!” amarah pria itu meledak. 

 “Maaf Bang. Beras kita sudah habis,” lirih perumpuan itu berucap.

 “Tolol! Kenapa tidak beli!”,

 “Abang kan yang ambil uang pembeli beras kita tadi pagi,” ucap perempuan itu ketakutan.

 Belum sedetik perempuan itu selasai berucap, kaki bersepatu pria itu berayun keras ke arah rusuk kirinya. Krak! Seperti ada yang patah. Perempuan itu jatuh berguling di lantai. Hanya sesunggukan yang terdengar dari bibir perempuan itu. Juga ketika pria itu, membenturkan kepala perempuan itu di tembok. Juga tatkala balok kayu melintang keras di punggungnya. Juga pada saat pria itu membanting pintu dan pergi entah kemana. Perempuan itu masih tetap sesungukan.

 

(empat)

Semua berawal, ketika mimpi tentang surga disuguhkan lewat kontes kecantikan. Kontes kecantikan yang menawarkan surga sebagai hadiah utama. Kontes yang menjanjikan ketenaran, kekayaan dan dunia yang penuh gemerlap surga.

Tatkala putrinya tak dapat lagi dicegah untuk mengikuti kontes kecantikan itu, tanpa perlu menunggu penobatan, perempuan tua itu sudah tahu siapa bakal pemilik surga itu. Yah! Adakah perempuan yang dapat menandingi kecantikan putrinya? Hanya kecantikan bidadari tandingan putrinya. Sungguh!

Saat ketegangan menanti penobatan, justru perempuan tua itu berurai air mata. Dadanya begitu sesak bagai dihimpit beban berat. Saat gemuruh tepuk tangan dan siutan-siutan panjang menyambut pemenang, justru sekoyong-koyong penglihatan perempuan tua itu mengabur kemudian pekat. Dalam samar, perempuan tua itu masih sempat menyaksikan putrinya mengenakan mahkota sambil tak henti melempar senyuman. 

 

(lima)

Seluruh persendian perempuan itu serasa remuk, bahkan untuk sekedar menggerakan tangan pun, perempuan itu sudah tak sanggup. Tetapi pria-pria itu tak sedikitpun menaruh kasihan. Bergiliran mereka menindih tubuhnya. Bergiliran mereka menghunjami tubuhnya. Dan bergiliran pula mereka menyakiti sekujur tubuhnya dengan telapak-telapak tangan mereka yang kasar.

“Bang, saya sudah tidak kuat,” lirih perempuan itu berucap.

Tetapi pria yang menindihnya tidak peduli. Mimik wajah pria itu terpancar gelora birahi yang sangar. Sementara tangan pria yang satunya mencengkeram dadanya dengan sangat kasar.

“Bang, saya sudah tidak kuat,” kembali perempuan itu berucap lirih—lirih sekali.

Pria itu malah membalik tubuh perempuan itu.

“Nungging!” perintah pria itu dengan suara keras.

Tetapi perempuan itu tetap tengkurep.

“Pelacur sialan. Kami bayar kamu untuk memuaskan kami, bukan untuk tidur-tiduran,” hardik pria itu.

Tetapi tenaga perempuan itu memang sudah terkuras habis.

Tanpa belas kasihan, pria itu kembali menindihnya dari belakang. Setengah sadar perempuan itu merasakan ada benda tumpul menerobos tubuhnya. Perempuan itu menjerit menahan sakit yang amat sangat. Tetapi jeritan itu tertahan di kerongkongannya. Bersamaan dengan jeritan itu, perempuan itu jatuh pingsan.

 

(enam)

Hari-hari kelabu bagai berseri, menciptakan berbagai adegan menyedihkan tanpa ujung pangkal. Tetapi perempuan muda itu tidak pernah meratap. Sebab seperti yang dipahaminya, perempuan hanyalah sosok lemah yang dicipta dari tulung rusuk pria, seperti halnya Hawa yang dicipta dari rusuk Adam.

Orang-orang tua di kampungnya kerap mendongengi, bahwa pria adalah manusia termulia. Pria rela menyerahkan tulang rusuk kirinya agar perempuan tercipta. Maka apakah pantas jika perempuan durhaka pada pria? Sungguh tak pantas! Tetapi apa yang justru terjadi? Hawa yang dicipta dari tulang rusuk Adam, tapi justru yang membuat Adam sengsara di dunia. Karena Hawa, Adam terdepak dari surga. Dosa purba itu harus ditebus perempuan.

Orang tua di kampungnnya selalu bilang dosa Hawa hanya dapat ditebus bila perempuan tunduk, patuh, taat dan pasrah kepada pria; mahluk mulia yang dengan tulang rusuk kirinya telah menciptakan perempuan. Itulah karma Hawa kepada Adam yang telah melempar mereka keluar dari surga.

Maka pernikahan bagi orang di kampungnya adalah ritual untuk mengembalikan surga pada pria, sekaligus prosesi untuk melengkapi kembali tulang rusuk pria. Pria akan menemukan kembali surga dan menjelma menjadi manusia sempurna apabila ada perempuan yang bersedia menjadi istrinya.

Maka, jika setelah menikah seorang pria gagal menjadi manusia sempurna serta tak menemukan bahagia, maka kesalahan layak ditimpakan pada istrinya. Orang-orang di kampungnya bilang, perempuan itu layak disumpah serapahi karena tak tahu berbalas budi.

Dan ganjaran itulah yang kini menimpanya. Suaminya selalu ringan tangan dan jarang menafkahinya. Bahkan berulang kali, suaminya membawa perempuan lain ke rumah mereka, dan bercumbu rayu disampingnya.

Namun perempuan itu tak pernah sekalipun meratap. Baginya, semua itu adalah ganjaran bagi dirinya yang gagal menyajikan surga buat suaminya.

 

(tujuh)

Sungguh hidup penuh dengan ragam pilihan. Dan putri perempuan tua itu telah pula menentukan pilihan. Tetapi perempuan tua itu begitu risau dengan  pilihan hidup putrinya.

“Apa sesungguhnya yang hendak kamu cari putriku?” tanya perempuan tua tatkala putrinya mengutarakan niatnya untuk ikut kontes kecantikan.

“Bunda, apakah bunda tidak bangga jika putri bunda ini menjadi perempuan tercantik?” ucap putrinya.

“Kamu salah putriku. Kecantikan itu bukan untuk dipamerkan. Sebaliknya, kecantikan itu justru harus dirahasiakan,” kata perempaun itu lembut.

“Apa maksud bunda?”

“Putriku, kecantikan sesungguhnya adalah rahasia. Misteri putriku! Kecantikan bukan untuk diumbar. Sebab jika kecantikan itu kamu umbar, maka kecantikan itu akan segera memudar. Balutlah kecantikanmu dengan budi pekerti dan kain tertutup, sebab dengan begitu kecantikanmu akan abadi.”

 “Tapi bunda, ini kan bukan kontes mengumbar kecantikan semata. Ini juga kontes kesesajaran pria dengan wanita”.

“Putriku, jika yang kamu anggap kesejajaran adalah bahwa perempuan dapat melakukan semua yang dikerjakan pria, maka kamu salah,” ucap perempuan itu dengan lemah lembut. 

“Saya kurang mengerti apa yang bunda katakan,”

“Ketahuilah bahwa pria dan perempuan tetaplah berbeda. Tetapi perbedaan itu sesungguhnya bertujuan untuk saling melengkapi, saling mengisi. Demi apa? demi terciptanya kehidupan yang serasi. Pria dan perempuan ibarat siang dan malam yang menciptakan hari. Tak ada hari tanpa siang, begitu pula tak ada hari tanpa malam”.

Tetapi rupanya, putrinya berkeras hati, sebab surga telah menantinya.

Dan perempuan tua itu pun diselimuti kegalauan. Sebab sejak itu putrinya bukan miliknya lagi. Dia adalah putri kecantikan; putri yang kecantikannya dapat dinikmati oleh semua orang.

 

(delapan)

Belum genap sebulan, perempuan belia itu bekerja di warung remang-remang itu. Tugas sebenarnya cuma pelayan. Tetapi semua orang tahu, tempat itu bukan sekedar warung makan. Ibu perempuan belia itu bukannya tak tahu, jika warung itu juga menyuguhkan sajian yang lebih dari itu. Atas restu ibunya, perempuan belia itu bekerja di warung itu.

Perempuan muda itu pun bukannya tak tahu, menjadi pelayan di warung itu berarti dirinya harus sedia melayani birahi para pria hidung belang. Dihujami, disakiti, diremas, kemudian diludahi!

Tapi mimpi tentang surga sungguh tak kuasa ditapiknya. Hidup sekali, namun tepi surga pun seperti enggan mendekati keluarganya. Perempaun itu muak hidup di jurang kemiskinan. Di ranjang reot di salah satu kamar di belakang warung inilah, kegadisannya direnggut oleh pria bandot tua yang berani membayar mahal darah keperawannya.

Keesokan pagi, ibunya terperanjat kaget bercampur sumringah, tatkala perempuan muda itu menyerahkan segepok uang, hasil menjual darah keperawanannya. Setumpuk rupiah yang tak mungkin didapat dari suaminya yang cuma buruh tani. Sementara ibunya sibuk mengipas-ngipasi duit, perempuan muda itu meringis; selangkangannya perih!        

 

(sembilan)

Sesal menyelimuti istri muda itu. Dia merasa gagal menjadi perempuan. Suaminya telah mencampakkannya, lalu memilih beristri lagi dengan perempuan lain. Kesedihannya makin bertambah, sebab orang di kampungnya menimpakan kesalahan pada dirinya.

Sungguh, dia tak pernah menyesali kelakuan kasar suaminya. Yang disesalinya adalah kegagalan menyajikan surga untuk suaminya. Dia pun tak peduli, kendati suaminya tidak pernah menafkahinya, tetapi yang diratapi karena kegagalannya melengkapi tulang rusuk suaminya. Sungguh dia pun tidak pernah galau kendati suaminya doyan perempuan lain, yang disesali; kegagalannya menyuguhkan kembali surga pada suaminya. 

Wajah perempuan itu kusut oleh sedih. Matanya sembab oleh duka. Di atas palang kayu rumahnya, sebuah jerat tali lingkar bersimpul tergantung tepat di kepalanya. Dia bersiap menyambut surga! 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun