Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan-perempuan di Tepi Surga

22 April 2016   14:34 Diperbarui: 23 April 2016   03:59 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum genap sebulan, perempuan belia itu bekerja di warung remang-remang itu. Tugas sebenarnya cuma pelayan. Tetapi semua orang tahu, tempat itu bukan sekedar warung makan. Ibu perempuan belia itu bukannya tak tahu, jika warung itu juga menyuguhkan sajian yang lebih dari itu. Atas restu ibunya, perempuan belia itu bekerja di warung itu.

Perempuan muda itu pun bukannya tak tahu, menjadi pelayan di warung itu berarti dirinya harus sedia melayani birahi para pria hidung belang. Dihujami, disakiti, diremas, kemudian diludahi!

Tapi mimpi tentang surga sungguh tak kuasa ditapiknya. Hidup sekali, namun tepi surga pun seperti enggan mendekati keluarganya. Perempaun itu muak hidup di jurang kemiskinan. Di ranjang reot di salah satu kamar di belakang warung inilah, kegadisannya direnggut oleh pria bandot tua yang berani membayar mahal darah keperawannya.

Keesokan pagi, ibunya terperanjat kaget bercampur sumringah, tatkala perempuan muda itu menyerahkan segepok uang, hasil menjual darah keperawanannya. Setumpuk rupiah yang tak mungkin didapat dari suaminya yang cuma buruh tani. Sementara ibunya sibuk mengipas-ngipasi duit, perempuan muda itu meringis; selangkangannya perih!        

 

(sembilan)

Sesal menyelimuti istri muda itu. Dia merasa gagal menjadi perempuan. Suaminya telah mencampakkannya, lalu memilih beristri lagi dengan perempuan lain. Kesedihannya makin bertambah, sebab orang di kampungnya menimpakan kesalahan pada dirinya.

Sungguh, dia tak pernah menyesali kelakuan kasar suaminya. Yang disesalinya adalah kegagalan menyajikan surga untuk suaminya. Dia pun tak peduli, kendati suaminya tidak pernah menafkahinya, tetapi yang diratapi karena kegagalannya melengkapi tulang rusuk suaminya. Sungguh dia pun tidak pernah galau kendati suaminya doyan perempuan lain, yang disesali; kegagalannya menyuguhkan kembali surga pada suaminya. 

Wajah perempuan itu kusut oleh sedih. Matanya sembab oleh duka. Di atas palang kayu rumahnya, sebuah jerat tali lingkar bersimpul tergantung tepat di kepalanya. Dia bersiap menyambut surga! 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun