Di sudut warung remang-remang, seorang perempuan belia diapit dua pria separuh baya. Bau alkohol menyembur dari mulut pria-pria itu, seperti mengaduk-aduk isi perut perempuan itu. Tetapi perempuan itu tetap tersenyum. Juga pada saat bibir kedua pria itu menciumi sekujur tubuhnya yang mulus. Juga, ketika tangan-tangan kasar bertato pria itu menyikap rok mininya. Juga, tatkala pria-pria itu menyeret tangan perempuan itu menuju ke belakang warung—untuk menuntaskan birahi yang meledak-ledak.
(tiga)
“Dasar perempuan sialan!” Dan untuk kesekian kalinya, lengan berotot itu berayun ke wajah perempuan muda itu. Perempuan itu langsung tersungkur mencium lantai. Darah semakin deras mengucur dari hidung dan pelipisnya yang robek. Perempuan itu hanya sesungukan, sebab tangisan berarti telapak tangan dan kaki semakin bertubi-tubi bersarang di sekujur tubuhnya.
Pria lengan berotot itu, berdiri berkacak pinggang, lututnya goyah. Wajahnya memerah. Dari mulutnya menyembur bau khas minuman keras murahan. Hari yang sial! Uangnya amblas tak tersisa di meja judi, dan setiba di rumah, perempuan itu malah menagih uang untuk belanja.
“Mulai besok kamu yang cari uang. Biar kamu tahu, kalau cari uang itu susah. Paham!” pria itu berkata sambil menjambak rambut perempuan itu sehingga wajah perempuan itu menengadah.
“Sekarang sediakan makanan. Saya sudah lapar. Cepat!” hardik pria itu.
Perempuan itu malah tertunduk.
“Hehhh! Kau tuli ya. Saya lapar!” amarah pria itu meledak.
“Maaf Bang. Beras kita sudah habis,” lirih perumpuan itu berucap.
“Tolol! Kenapa tidak beli!”,