“Abang kan yang ambil uang pembeli beras kita tadi pagi,” ucap perempuan itu ketakutan.
Belum sedetik perempuan itu selasai berucap, kaki bersepatu pria itu berayun keras ke arah rusuk kirinya. Krak! Seperti ada yang patah. Perempuan itu jatuh berguling di lantai. Hanya sesunggukan yang terdengar dari bibir perempuan itu. Juga ketika pria itu, membenturkan kepala perempuan itu di tembok. Juga tatkala balok kayu melintang keras di punggungnya. Juga pada saat pria itu membanting pintu dan pergi entah kemana. Perempuan itu masih tetap sesungukan.
(empat)
Semua berawal, ketika mimpi tentang surga disuguhkan lewat kontes kecantikan. Kontes kecantikan yang menawarkan surga sebagai hadiah utama. Kontes yang menjanjikan ketenaran, kekayaan dan dunia yang penuh gemerlap surga.
Tatkala putrinya tak dapat lagi dicegah untuk mengikuti kontes kecantikan itu, tanpa perlu menunggu penobatan, perempuan tua itu sudah tahu siapa bakal pemilik surga itu. Yah! Adakah perempuan yang dapat menandingi kecantikan putrinya? Hanya kecantikan bidadari tandingan putrinya. Sungguh!
Saat ketegangan menanti penobatan, justru perempuan tua itu berurai air mata. Dadanya begitu sesak bagai dihimpit beban berat. Saat gemuruh tepuk tangan dan siutan-siutan panjang menyambut pemenang, justru sekoyong-koyong penglihatan perempuan tua itu mengabur kemudian pekat. Dalam samar, perempuan tua itu masih sempat menyaksikan putrinya mengenakan mahkota sambil tak henti melempar senyuman.
(lima)
Seluruh persendian perempuan itu serasa remuk, bahkan untuk sekedar menggerakan tangan pun, perempuan itu sudah tak sanggup. Tetapi pria-pria itu tak sedikitpun menaruh kasihan. Bergiliran mereka menindih tubuhnya. Bergiliran mereka menghunjami tubuhnya. Dan bergiliran pula mereka menyakiti sekujur tubuhnya dengan telapak-telapak tangan mereka yang kasar.
“Bang, saya sudah tidak kuat,” lirih perempuan itu berucap.