(satu)
Kecantikan adalah putrinya! Putri semata wayang dari mendiang suaminya. Putri yang terlahir untuk melukis kecantikan pada setiap lekuk tubuhnya; kecantikan titisan bidadari.
Tetapi putrinya adalah perempuan kebanyakan. Perempuan yang tak mampu menanggalkan mimpi indah tentang surga--surga yang terampas akibat bujuk rayu Hawa. Tragedi purba yang menjerumuskan manusia ke lembah dunia.
Tetapi bagi putrinya, di dunia bukan berarti tak ada surga. Justru surga di dunia begitu nyata; bukan rekaan khayali seperti cerita di teks-teks suci. Kata putrinya, di kehidupan nyata, surga menjelma dalam ragam rupa kesenangan, ketenaran, kekayaan, serta kecantikan.
Dan putrinya paham benar, tangga menuju surga itu selangkah lagi akan dilewatinya. Dengan pesona parasnya, surga akan digenggamnya kembali. Dengan keelokan tubuhnya, surga akan kembali tersaji di bawah telapak kakinya. Yah! Kecantikanlah yang akan menghantar putrinya pada tangga ketenaran dan kekayaan. Baginya, kecantikan adalah surga, dan surga adalah kecantikan.
Tetapi justru itu yang membuat perempuan tua itu gundah gulana. Hari-harinya dipenuhi kegalauan. Dengan kelembutan seorang ibu, perempuan tua itu berulang kali mengingatkan, “itu buka surga anakku. Itu bukan surga! Kamu keliru. Kamu justru sedang menghantar dirimu ke jurang kehancuran. Sadarlah anakku!”
Tetapi adakah yang sudi melepas surga yang telah ada persis di depannya?
(dua)
Bau minuman alkohol, kepulan asap rokok dan hawa mesum, mengepung setiap sudut warung remang yang berdinding papan lusuh itu. Dentuman musik dangdut sengaja dilantunkan untuk menghentak-hentak birahi; birahi liar yang ingin segera dilampiaskan. Di depan warung, beberapa perempuan muda bergincu tebal, duduk berjejer di bangku panjang, memamerkan lekuk tubuhnya dengan balutan pakaian menerawang. Pria normal mana yang tidak naik-turun jakunnya menyaksikan pemandangan menantang itu!
“Mau ke surga bang? Sama saya saja yuk! Dijamin ketemu bidadari,” begitu selalu perempuan-perempuan itu menawarkan diri pada setiap pria yang datang.