Mohon tunggu...
Muhammad Toha
Muhammad Toha Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kuli biasa. Lahir di Banyuwangi, menyelesaikan sekolah di Bima, Kuliah di Makassar, lalu jadi kuli di salah satu perusahaan pertambangan di Sorowako. Saat ini menetap dan hidup bahagia di Serpong--dan masih tetap menjadi kuli.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Panggil Namaku Tom!

16 Februari 2016   14:26 Diperbarui: 16 Februari 2016   14:39 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Panggil namaku TOM! Karna setiap kali nama itu disebut, ingataku seperti meloncat ke masa puluhan tahun silam. Masa yang menorehkan begitu banyak kenangan.

Masa itu, keluargaku tengah terpuruk dalam kemiskinan yang paling curam. Usaha orang tuaku bangkrut dan terlilit hutang yang besar. Kami lalu meninggalkan kampung halaman kami di Jawa, untuk merantau ke Bima di Pulau Sumbawa, setelah melego semua harta benda untuk membayar hutang. Kami jatuh melarat.

Kendati bukan orang kaya, tetapi kehidupan kami di Jawa sebenarnya tercukupi. Bapakku juga “cukup dipandang”. Di pedesaan Banyuwangi, imam dan guru ngaji punya “kasta”. Nah, Bapakku itu imam sekaligus guru ngaji di kampungku plus seorang pedagang. Beliau punya kuasa untuk menjewer telinga anak-anak yang berisik di masjid atau menghukum anak-anak yang malas-malasan mengaji.

Tapi pasca bangkrut, kehidupan kami bak roda pedati yang berputar sangat cepat. Di tanah rantau, kehidupan kami berbalik seluruhnya. Di Bima, kami hanya mampu mengontrak rumah panggung dengan satu kamar kecil plus dapur. Tak ada perabotan di rumah itu. Bahkan untuk tidurpun, kami menggunakan tikar pandan yang digelar di lantai papan. Alhasil, setiap bangun tidur, punggungku selalu dipenuhi “stempelan” mirip papan catur.

Jangan ngomongin tivi atau barang elektronik mahal lainnya, karna untuk membeli meja-kursi dan lemari saja, kami tak sanggup. Penghasilan orang tuaku yang berjualan makanan di kaki lima setiap malam, hanya cukup untuk makan sehari-hari—tak pernah lebih.

Kemiskinan itu mengatar status keluargaku pada level strata sosial yang paling bawah. Dan mirisnya, seolah-olah jika kita miskin, maka orang berhak menghina dan mencemooh kita. Orang miskin seperti dianggap tak punya harga diri, dan sudah selayaknya dijadikan bahan guyonan.

Apakah perlakuan seperti itu dibuat agar orang miskin tabah menghadapi kemiskinan. Entahlah!

Yang pasti, seperti yang kami alami, selain harus mulai membiasakan diri dengan keterbatasan, kami pun harus akrab dengan berbagai cemoohan dari orang-orang di sekitar kami. Aku masih ingat, ketika bapakku—tepat di hadapanku—dibogem hingga limbung, hanya karna kesalahpahaman yang sepele.  Aku juga masih ingat, tatkala kami diusir dari emperan jalan, sehingga kami harus mencari tempat lain untuk lokasi jualan. Oh iya, ada pula kejadian ketika gerobak jualan kami, ditabrak bus hingga hancur berantakan, dan si sopir tak memberi ganti rugi yang sepadan—dan setelah itu, orang tua kami tidak bisa berjualan hampir 6 bulan.

Di kasta bawah, survival of the fittest ala teori Darwin berlaku begitu gamblang. Untuk sekedar bertahan hidup dengan makan ala kadarnya saja, orang miskin seperti kami harus berdamai dengan  perasaan direndahkan. Perlakukan diskriminatif dan dianggap sebelah mata adalah makanan sehari-hari kami.

Sampai detik ini, saya selalu tak kuasa menahan haru, jika ada penggusuran rumah orang kecil, atau pedagang kaki lima yang diusir jualan karena dianggap mengganggu ketertiban. Mungkin saja mereka salah, tetapi saya pernah merasakan bagaimana perihnya hati kami di perlakukan sebagai pecundang. 

Anda pernah membaca atau mendengar berita tentang Vivi Kusrini, siswi SMP anak penjual bubur yang nekat gantung diri karena tak tahan kerap diejek sebagai anak penjual bubur? Atau kisah Andri di Blitar, anak umur 10 tahun yang mengakhiri hidupnya karena sepatunya yang buntut dijadikan bahan ejekan teman-temannya, sementara orang tuanya yang miskin tak sanggup membelikan sepatu baru?

Jika anda tak pernah miskin, anda tak akan pernah merasakan bagaimana perihnya diejek karna kefakiran. Tapi aku bisa merasakan..Aku tau kenapa Vivi Kusrini dan Andri memilih bunuh diri. Mereka tak pernah memilih terlahir dari rahim keluarga miskin. Tetapi kemiskinan yang mendera orang tua mereka, terpaksa mereka tanggung dengan hinaan dan olok-olakan yang menyakitkan. Aku tau, pilihan Vivi dan dan Andri salah..tapi aku tau kenapa mereka memilih jalan tragis itu.

Bertahun-tahun aku mengidap low self esteem alias perasaan rendah diri yang akut karna bertahun-tahun kemiskinan keluargaku jadi bahan olok-olokan. Hinaan seperti itu memang tak berbekas seperti luka kulit yang tergores pisau. Tetapi, sakitnya justru lebih perih karena menggores luka hati yang lebih dalam. Karna tak tahan, aku pernah berkelahi untuk membela bapakku yang diejek temanku dengan kata-kata tak senonoh. Tapi bukannya mendapat pujian, bapakku malah menasehatiku untuk tidak berkelahi. Aku diminta untuk bersabar. “Orang miskin memang tempatnya untuk sabar,” begitu nasihat beliau.

Perihal nama Tom, sebenarnya itu juga salah satu ejekan yang aku terima. Aku yang waktu itu berbadan kurus dengan wajah yang tirus, sehingga jika dilihat dari samping, wajahku nampak rata tanpa lekuk daging. Lalu oleh teman sepermainanku, aku diolok-olok dengan nama: “Toha Mpelu”, yang dalam Bahasa Bima artinya Toha Gepeng. Nama itu melekat di namaku hingga beranjak remaja.

Entah bagaimana ceritanya, belakangan hari, nama Toha Mpelu itu disingkat menjadi Tompel, dan jadilah nama Tompel itu melekat sebagai nama ejekan saya sejak saat itu. Nah, Tom itu adalah nama singkat dari Tompel alias Toha Mpelu—Toha si Muka Gepeng.

Bertahun-tahun kemudian, sewaktu aku kuliah dan perlahan-lahan aku mulai bisa menyembuhkan perasaan rendah diriku, aku justru menjadikan parasku yang pas-pasan itu sebagai bahan celaan dan ejekan. Aku sengaja mendeklarasikan, dan bahkan membuat sebuah tulisan yang menyebut ketampananku sebagai reinkarnasi Nabi Yusuf. Ngelantur? Iyalah… Aku sadar diri kok, wajahku yang minimalis itu jauh dari definisi tampan. Tapi, begitulah caraku untuk menyembuhkan luka hatiku yang pernah diejek karena keterbatasan fisikku. 

Kini, sebagai orang tua dengan tiga anak yang beranjak besar, aku selalu mewanti-wanti anakku untuk menaruh hormat kepada orang-orang kekurangan, yang jumlahnya masih banyak di sekitar kita. Kemiskinan mereka bukan aib..kefakiran mereka juga bukan komoditas untuk bahan celaan. Mereka adalah saudara-saudara kita yang punya perasaan, dan mereka juga punya harga diri yang kudu kita hargai.   

Panggil namaku Tom, sebab dengan begitu, aku akan selalu ingat siapa sebenarnya aku!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun