Panggil namaku TOM! Karna setiap kali nama itu disebut, ingataku seperti meloncat ke masa puluhan tahun silam. Masa yang menorehkan begitu banyak kenangan.
Masa itu, keluargaku tengah terpuruk dalam kemiskinan yang paling curam. Usaha orang tuaku bangkrut dan terlilit hutang yang besar. Kami lalu meninggalkan kampung halaman kami di Jawa, untuk merantau ke Bima di Pulau Sumbawa, setelah melego semua harta benda untuk membayar hutang. Kami jatuh melarat.
Kendati bukan orang kaya, tetapi kehidupan kami di Jawa sebenarnya tercukupi. Bapakku juga “cukup dipandang”. Di pedesaan Banyuwangi, imam dan guru ngaji punya “kasta”. Nah, Bapakku itu imam sekaligus guru ngaji di kampungku plus seorang pedagang. Beliau punya kuasa untuk menjewer telinga anak-anak yang berisik di masjid atau menghukum anak-anak yang malas-malasan mengaji.
Tapi pasca bangkrut, kehidupan kami bak roda pedati yang berputar sangat cepat. Di tanah rantau, kehidupan kami berbalik seluruhnya. Di Bima, kami hanya mampu mengontrak rumah panggung dengan satu kamar kecil plus dapur. Tak ada perabotan di rumah itu. Bahkan untuk tidurpun, kami menggunakan tikar pandan yang digelar di lantai papan. Alhasil, setiap bangun tidur, punggungku selalu dipenuhi “stempelan” mirip papan catur.
Jangan ngomongin tivi atau barang elektronik mahal lainnya, karna untuk membeli meja-kursi dan lemari saja, kami tak sanggup. Penghasilan orang tuaku yang berjualan makanan di kaki lima setiap malam, hanya cukup untuk makan sehari-hari—tak pernah lebih.
Kemiskinan itu mengatar status keluargaku pada level strata sosial yang paling bawah. Dan mirisnya, seolah-olah jika kita miskin, maka orang berhak menghina dan mencemooh kita. Orang miskin seperti dianggap tak punya harga diri, dan sudah selayaknya dijadikan bahan guyonan.
Apakah perlakuan seperti itu dibuat agar orang miskin tabah menghadapi kemiskinan. Entahlah!
Yang pasti, seperti yang kami alami, selain harus mulai membiasakan diri dengan keterbatasan, kami pun harus akrab dengan berbagai cemoohan dari orang-orang di sekitar kami. Aku masih ingat, ketika bapakku—tepat di hadapanku—dibogem hingga limbung, hanya karna kesalahpahaman yang sepele. Aku juga masih ingat, tatkala kami diusir dari emperan jalan, sehingga kami harus mencari tempat lain untuk lokasi jualan. Oh iya, ada pula kejadian ketika gerobak jualan kami, ditabrak bus hingga hancur berantakan, dan si sopir tak memberi ganti rugi yang sepadan—dan setelah itu, orang tua kami tidak bisa berjualan hampir 6 bulan.
Di kasta bawah, survival of the fittest ala teori Darwin berlaku begitu gamblang. Untuk sekedar bertahan hidup dengan makan ala kadarnya saja, orang miskin seperti kami harus berdamai dengan perasaan direndahkan. Perlakukan diskriminatif dan dianggap sebelah mata adalah makanan sehari-hari kami.
Sampai detik ini, saya selalu tak kuasa menahan haru, jika ada penggusuran rumah orang kecil, atau pedagang kaki lima yang diusir jualan karena dianggap mengganggu ketertiban. Mungkin saja mereka salah, tetapi saya pernah merasakan bagaimana perihnya hati kami di perlakukan sebagai pecundang.
Anda pernah membaca atau mendengar berita tentang Vivi Kusrini, siswi SMP anak penjual bubur yang nekat gantung diri karena tak tahan kerap diejek sebagai anak penjual bubur? Atau kisah Andri di Blitar, anak umur 10 tahun yang mengakhiri hidupnya karena sepatunya yang buntut dijadikan bahan ejekan teman-temannya, sementara orang tuanya yang miskin tak sanggup membelikan sepatu baru?