“Iya, nanti totalnya di SMS. Belum selesai dihitung. Nanti bayarnya ditranfer saja ”.
Whatt! Tambah heranlah saya dibuatnya. Tapi begitulah. Mereka umumnya selalu memperlakukan pelanggannya bak raja yang terhormat. Dan itu yang membuat saya sulit untuk beralih ke toko lainnya.
Nah, balik lagi soal kota yang sepi tanpa pedagang China.
Kota dan kegiatan ekonomi bak 2 sisi koin yang selalu bersisian—nyaris tak terpisahkan. Sebuah kota membutuhkan para pedagang yang menggerakkan arus barang dan uang lebih dinamis, serta menumbuhkan geliat ekonomi.
Maka premisnya menjadi sederhana; sebuah kota yang membatasi arus barang dan uang masuk ke wilayahnya, dengan melarang kelompok tertentu masuk ke wilayahnya, maka berarti daerah itu telah membatasi diri untuk bertumbuh. Kota itu memang akan bisa berkembang, namun lajunya bisa akan lebih kencang jika tak ada pembatasan.
Apakah ada alasan takut kalah bersaing?
Harus diakui, orang China sepertinya telah terlahir sebagai pedagang ulung, laiknya orang Bali yang terlahir dengan jiwa seni. Orang China sepertinya punya indra keenam yang mampu menangkap peluang pasar dengan jeli, serta punya talenta untuk membangun relasi yang menguntungkan. Dengan kemampuan itulah, mereka berdagang apa saja asal menghasilkan keuntungan.
Nah, bisa jadi, alasan inilah yang membuat “gamang” pedagang lain jika harus bersaing dengan pedagang China.
Bagi temanku, ada dampak lain dengan tak adanya orang China di Kota Tidore, “Kita tidak bisa melihat noni-noni China yang cantik di kota ini,” ujarnya sambil terkekeh hehehehehe…Benar juga!
#UncleTOM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H