Entah, apakah dalil ini shahih atau hanya gurauan semata, saya sendiri tak punya referensi untuk menyangkalnya.
Tapi tetiba saya teringat di Sulawesi, juga ada beberapa lintir daerah yang melarang orang China menetap dan berdagang di daerahnya. Saya tak paham alasan atau penyebabnya, tapi efeknya memang nampak dari geliat kegiatan ekonominya. Daerah itu cenderung kurang berkembang dibanding daerah tetangganya, padahal potensi ekonomi setara.
Di daerah tempat orang tuaku kini menetap, Tente Bima NTB, hal serupa juga terjadi. Para pedagang lokal berkesepakat untuk menolak kehadiran pegadang China masuk ke daerah itu. Hasilnya, sejak orang tuaku menetap 15 tahun silam di Tente, saya tak melihat ada perubahan yang signifikan tiap kali saya berlibur kesana.
Apa yang salah dari pedagang China. Dan kenapa hanya pedagang China yang dilarang?
Dan kenapa pedagang keturunan Arab, blasteran India atau perantau dari pulau lain diperbolehkan?
Sekali lagi saya tak punya referensi untuk menjawabnya.
Tapi yang pasti, menilik pengalamanku berinteraksi dengan pedagang China di Pasar Senen, Asemka, atau Mangga Dua Jakarta lebih kurang 3 tahun terakhir, saya merasa tak ada yang aneh dengan tabiat orang China dalam berdagang. Menurutku, justru pedagang China yang saya kenal, adalah para pedagang yang jujur, ulet dan pintar menjaga pelanggan.
Memang tak semua seperti itu..tapi begitulah pengalamanku selama ini bertransaksi dengan mereka.
Suatu kali saya pernah kembali di salah satu toko di Pasar Asemka yang sebulan sebelumnya, saya tempati belanja. Kali itu, karena barang yang saya pesan ada di gudang, pedagang China itu menjanjikan barangnya besok disiapkan dan akan dikirim ke alamat tujuan.
Besoknya, karena kesibukan saya jadi kuli, saya lupa untuk menanyakan status barang itu. Sampai 4 hari lewat, saya baru teringat.
“Barangnya sudah kami kirim 4 hari lalu,” ujarnya di ujung telepon ketika saya tanya bagaimana status barang saya.
Ohh…saya hanya bisa melongo heran. Nyaris tak percaya. Barang pesanan saya telah dikirim sementara saya belum membayarnya sesen pun.
Saya tak habis pikir bagaimana bisa dia langsung percaya, padahal notabene saya baru sekali belanja dan bertemu dengannya? Saya juga tak paham kalkulasi kerugiannya jika barang yang dikirim itu, tidak saya bayar padahal nilainya cukup besar.
“Jadi total berapa belanja dan ongkos kirimnya Ci?” tanyaku agak sunggan.