Selama kuliah di Mesir, Gusdur menetap dengan salah satu kawannya di sebuah flat sederhana. Suatu waktu, teman Gusdur kedatangan tamu. Sang tamu dipersilahkan duduk di ruang tamu, sementara Gusdur beranjak ke dapur untuk menyiapkan teh.
Ruang tamu dengan dapur hanya dipisahkan oleh sekat kain, sehingga aktivitas Gusdur selama di dapur dapat terlihat jelas oleh Sang Tamu.
Teh telah terhidang, dan tamu itu telah dipersilahkan untuk meminumnya. Berkali-kali dipersilakan, tapi sang tamu tak juga meminumnya. Sampai akhirnya, teman Gusdur bertanya:
“Kok tehnya tidak diminum?” tanyanya.
“Maaf beribu maaf..Saya tidak tega minum teh ini. Tadi sewaktu teman kamu membuat teh di dapur, saya lihat dia melap gelas tehnya pakai celana dalam,” kata Sang Tamu.
Meledaklah tawa teman Gusdur itu, yang justru membuat sang tamu menjadi heran.
Lalu dijelaskanlah ke sang tamu kalo mereka membeli celana dalam itu bukan untuk dijadikan “sempak”, tetapi sengaja dijadikan lap karena harganya lebih murah. “Toh, kain lap dan celana dalam sama-sama terbuat dari kain, gak ada bedanya kan,” begitu temannya Gusdur menjelaskan.
Nah, masihkah kita tetap mengagungkan penamaan dan abai terhadap fungsi?
Seorang cewek matre menjawab santai, “Rasanya tetap beda menagis di bahu seorang cowok yang menunggangi motor bebek, dibanding dengan menangis di bahu lelaki yang sedang mengendarai mobil Ferrari”.
Aihh…aihhhh…